Berita Pendidikan

Sekolah Tatap Muka Dibuka Januari, Ini Respon Orangtua Berdasarkan Survei Dosen Unnes di Semarang

Metode pembelajaran campuran (blended learning) didorong menjadi jalan tengah untuk memfasilitasi belajar siswa pada masa pandemi.

Penulis: Muhammad Sholekan | Editor: rika irawati
TRIBUN BANYUMAS/SAIFUL MA'SUM
Ilustrasi. Sebagian siswa SMP Negeri 2 Selopampang, Kabupaten Temanggung sedang mengikuti simulasi KBM tatap muka, Senin (26/10/2020). 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Metode pembelajaran campuran (blended learning) didorong menjadi jalan tengah untuk memfasilitasi belajar siswa pada masa pandemi.

Di tengah keputusan akan dibukanya kembali sekolah pada semester genap 2020/2021, Januari mendatang, pemerintah dan sekolah diminta mempertimbangkan adanya penyebaran Covid-19 yang tinggi.

Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dhoni Zustiyantoro mengatakan, pembelajaran campuran adalah mengombinasikan pembelajaran tatap muka di sekolah dan dalam jaringan (daring).

Metode campuran ini dinilai paling tepat sesuai hasil survei yang dia lakukan dan dipublikasikan lewat rilis, Senin (23/11/2020).

Dhoni mengatakan, survei tersebut dilakukan terhadap 328 responden orangatua siswa dan mahasiswa di Kota Semarang.

Baca juga: Mendikbud Beri Lampu Hijau Sekolah Tatap Muka, Bupati Pati: Saya Belum Berani

Baca juga: Pemkab Karanganyar Siap Gelar Sekolah Tatap Muka Awal 2021, Tetap Pertimbangkan Izin Orangtua

Baca juga: KBM Tatap Muka Dihentikan Sementara, Lokasi Terlalu Dekat Pasar Kupu Kabupaten Tegal

Baca juga: Beberapa Guru Reaktif, Tiga SMP Negeri di Blora Terpaksa Batal Gelar KBM Tatap Muka

Dari jumlah tersebut, 81,4 persen orangtua mengizinkan anak mereka kembali ke sekolah.

Kota Semarang menjadi sampel karena memiliki jumlah persebaran Covid-19 paling tinggi di Jawa Tengah.

Per 22 November 2020, berdasarkan data corona.jatengprov.go.id, jumlah kasus terkonfirmasi positif di Kota Semarang sebanyak 7.663 orang.

"Hasil survei ini berbeda dari survei akhir Mei lalu, ketika pemerintah berencana membuka sekolah pada semester gasal 2020/2021. Dalam suvei yang diikuti 406 responden saat itu, sebanyak 58,2 persen menyatakan tidak mengizinkan anaknya ke sekolah," ujar Dhoni, dosen di Fakultas Bahasa dan Seni Unnes.

Sementara, survei terbaru, dilakukan 20-22 November 2020 lalu. Hasilnya, alasan paling tinggi orangtua mengizinkan anaknya kembali ke sekolah adalah percaya sekolah akan memberlakukan protokol kesehatan secara ketat (58,2 persen).

Lalu, diikuti alasan, anak sudah bosan dengan pembelajaran daring/suasana rumah yang kurang kondusif untuk belajar (55,3 persen), dan percaya bahwa anak akan menaati protokol kesehatan (42,8 persen).

Hasil ini, menurut Dhoni, juga menunjukkan, pembelajaran tatap muka tidak tergantikan dengan pembelajaran daring.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi, di antaranya, selama pandemi, capaian belajar anak menurun drastis.

Anak juga tidak konsentrasi belajar/lebih banyak bermain, serta tidak ada yang menemani atau mengawasi anak belajar karena orangtua harus bekerja.

Dalam survei ini, sebanyak 14,3 persen responden, bahkan menyatakan pembelajaran daring tidak penting pada masa mendatang.

"Di sini pentingnya sekolah memberlakukan pembelajaran campuran, yaitu tatap muka dan daring. Hal itu bisa menjadi jalan tengah. Pandemi menjadi kesempatan untuk mendorong insfrastruktur belajar daring dan meningkatkan kapasitas guru agar lebih kreatif dan inovatif," ujarnya.

Baca juga: Siap-siap, 30 Ribu Guru Agama Madrasah dan RA Non-PNS di Jateng Bakal Terima Subsidi Gaji

Baca juga: Tekan Kasus Covid-19, Bupati Banyumas Terjunkan Tim Task Force yang Bertugas Bubarkan Kerumunan

Baca juga: Kemenhub Bakal Larang Pelajar Tak Punya SIM Kendarai Motor ke Sekolah

Baca juga: Jejak Hewan Diduga Macan Tutul Ditemukan di Jalur Evakuasi Merapi di Cangkringan Sleman

Teknisnya, menurut Dhoni, materi dan evaluasi tetap dilakukan secara daring sedangkan pertemuan secara tatap muka atau synchronous dilakukan dalam rangka konfirmasi dan penguatan pembelajaran.

"Porsinya tetap lebih banyak daring, di luar pelajaran atau jurusan yang membutuhkan praktikum. Selain pertimbangan idealistis, ingat pula bahwa wabah belum mereda," kata dia.

Dhoni menyatakan, pembelajaran yang disampaikan secara penuh di kelas konvensional sebenarnya tidak lagi relevan untuk kebutuhan masa depan.

Dalam menyiapkan lulusan guna menghadapi jenis pekerjaan baru, ilmu pengetahuan tidak cukup hanya ditransformasikan di dalam kelas-kelas pertemuan.

Namun, ia mengatakan, hingga delapan bulan pembelajaran daring, masih didapati guru yang meminta siswanya mengirimkan foto hasil pekerjaan dari lembar kerja siswa (LKS) ke grup Whatsapp dan terpaku pada jam pelajaran.

"Masalahnya, belum beranjak sejak bulan pertama masa pandemi, yaitu soal ketersediaan penunjang pembelajaran dan sebagian besar guru yang belum sepenuhnya memahami prinsip mengajar daring," katanya.

Padahal, pembelajaran daring itu esensinya kreatif, inovatif, dan membebaskan. Materi dan tagihan evaluasi kepada siswa bisa dalam rentang satu minggu dan memanfaatkan berbagai platform digital.

"Sejauh pembelajaran daring masih dianggap siasat menunda pembelajaran konvensional di kelas karena pandemi, kita akan terus gagap pada metode belajar masa depan ini," tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Banyumas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved