Berita Cilacap
Kisah Guru Penghayat Kepercayaan di Cilacap, Muslam Belum Merasakan Dapat Gaji Sejak 2015
Angin segar dihembuskan negara bagi penghayat kepercayaan di tanah air memberi ruang besar sebagai payung hukum. Namun di lapangannya seperti ini.
TRIBUNBANYUMAS.COM, CILACAP - Sebagai penyuluh, Muslam Hadiwiguna Putra diperkenankan mengajar di dalam kelas dan juga masyarakat.
Muslam dan para siswa "istimewa"-nya tersebut adalah sesama penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Budayawan asal Kabupaten Cilacap itu sejak tiga bulan terakhir menggelar kelas daring.
• KTP Bakal Ditahan, Bila Warga Tak Gunakan Masker Saat Keluyuran di Klaten
• 1.886 Orang Tercatat Sebagai Pemilih Pemula dalam Pilbup Kendal
• 32 Pendaftar Jalur Afirmasi Cabut Berkas di SMKN 1 Bawen, Tak Bisa Serahkan Bukti Kepemilikan KIP
Itu dikarenakan dalam masa pandemi virus corona.
Saat mengajar para siswa penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Meski tidak secara resmi disebut guru, Muslam punya peran yang sama.
Saat ini dia dan penyuluh lainnya mengajar sekira 50 siswa penghayat di tujuh SMA-SMK, lima SMP, dan empat SD di wilayah Cilacap.
Total ada 12 penyuluh penyuluh yang mengajar para siswa tersebut.
Muslam dan rekannya membagi kabupaten di pesisir selatan Jawa Tengah dalam tiga zona yakni timur, tengah, dan barat.
Mereka bertanggung jawab mengajar para siswa SD, SMK, dan SMA.
Aktivitas mengajar sudah dilakukan sejak 2015 lalu dan dimulai dengan dua siswa.
“Kami adalah penyuluh sebenarnya di sekolah."
"Penyuluh boleh di dalam kelas dan di masyarakat."
"Karena penyuluh dasar hukumnya tidak harus berpendidikan formal, tetapi menguasai ilmunya atau ahlinya."
"Akhirnya sampai sekarang boleh masuk ke kelas, kami sudah meluluskan dua periode untuk kelulusan anak,” kata Muslam seperti dilansir dari Kompas.com, Rabu (24/6/2020).
Ia mengatakan, untuk menjadi guru dibutuhkan syarat formal agar bisa mengajar di sekolah.
Salah satu syaratnya adalah gelar kesarjanaan dalam bidang yang diajar.
Namun hal tersebut tidak berlaku bagi dia.
Sampai saat ini, tidak ada perguruan tinggi yang membuka jurusan penghayat kepercayaan.
Hal tersebut yang menyebabkan jika selama tidak ada guru resmi bagi siswa penghayat di sekolah.
Walaupun mengajar seperti layaknya guru, Muslam tidak mendapatkan gaji dari negara.
Sekolah juga tidak mungkin menyisihkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk memberi honor kepada mereka.
Muslam mengatakan bekal utama para penyuluh untuk terus mengajar di berbagai sekolah adalah rasa ikhlas.
• Bulan Ini Sudah Ada 21 Kasus DBD di Kota Salatiga, Gejala Awal Nyaris Serupa Pasien Covid-19
• Candi Cetho Karanganyar Sudah Dibuka Lagi, Sementara Hanya Terima Wisatawan Asal Jateng-DIY
• Orang Stres Meningkat Drastis di Jawa Tengah, Pemicu Utama Faktor Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19
Alasan lain yang membuat mereka bertahan untuk mengajar adalah mereka menganggap para siswa adalah generasi penerus yang akan mewarisi ajaran penghayat.
Seperti yang diajarkan para leluhur sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.
“Karena sejak lama dimarjinalkan, sehingga yang paling utama sekali bagi kita adalah penerus, atau regenerasi."
"Kebetulan pemerintah sudah memberikan payung hukum untuk perkembangan generasi kami ke depan."
"Satu-satunya yang formal adalah melalui sekolah,” kata Muslam.
Muslam mengatakan, meski sudah berjalan selama lima tahun, masih ada pandangan penuh selidik saat pelajaran mereka berlangsung.
Bahkan para siswa penghayat terkadang masih menerima komentar tertentu yang digambarkan melalui kurangnya pemahaman mengenai penghayat di lingkuan sekolah.
Untuk itu, Muslam berupaya dengan kuat agar para siswa ini bangga menyebut dirinya sebagai penghayat di tengah kawan-kawannya yang menganut agama mayoritas.
Selain di Cilacap, siswa penganut penghayat juga ada di Yogyakarta.
Kuswijoyo Mulyo adalah penghayat yang yang diberi kepercayaan sebagai koordinator untuk empat penyuluh di Yogyakarta.
Tidak seperti di Cilacap yang memiliki 50 siswa, di Yogyakarta hanya ada tujuh siswa yang mengikuti pelajaran penghayat di sekolah.
Kuswijoyo bercerita masih ada sejumlah oknum di sekolah yang belum bisa menerima kenyataan jika siswa penghayat berhak atas pelajaran sesuai keyakinannya.
“Kurikulum, silabus, dan lainnya tidak ada masalah."
"Tantangan besarnya seberapa jauh keterbukaan sekolah terbuka bagi setiap siswa atau siapapun yang akan mengambil penghayat kepercayaan."
"Kalau negara sudah cukup terbuka, cukup baik memberikan pelayanan untuk pendidikan,” kata Kuswijoyo.
Kuswijoyo mengatakan, proses besar yang harus diperjuangan adalah agar pelajaran penghayat ini masuk secara integral ke dalam kurikulum nasional.
• Target Capai Lima Persen, Total Warga Jalani Rapid Test Massal di Kota Semarang
• Di Kota Tegal, 479 Karyawan yang Dirumahkan Sudah Bekerja Lagi, Jumadi: Pakai Sistem Kerja Shift
• WNA Pekerja Pabrik Tas di Grobogan Terinfeksi Virus Corona, Imigrasi: Ketiganya Asal Filipina
Dengan langkah tersebut sangat memungkinkan setiap daerah di Indonesia secara sama memberikan pelayanan pelajaran bagi penghayat kepercayaan.
Sehingga pelajaran penghayat kepercayaan akan memiliki kesetaraan dengan pelajaran agama yang sudah diajarkan selama ini.
Dalam beberapa kesempatan, kata Kuswijoyo, ia beberapa kali didatangi oleh sejumlah siswa yang mengaku ingin mempelajari ajaran para leluhur ini.
Mereka datang dari berbagai macam latar belakang, termasuk agama yang berbeda-beda.
Niat itu terbentur oleh kewajiban untuk mendiskusikan pilihan tersebut dengan orangtua siswa, dan iklim sekolah yang kadang kurang kondusif.
Karena itulah, jumlah penghayat kelompok usia muda di Yogyakarta jumlahnya tidak terlalu besar.
Hingga saat ini, para siswa penghayat menerima pelajaran dengan buku yang disusun bersama oleh 187 paguyuban kepercayaan di Indonesia.
Mereka bergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Lembaga ini, selain mengkoordinasi penyusunan buku, juga berperan dalam menyediakan penyuluh di sekolah.
“Kami sudah sepakat untuk merumuskan bersama, dan hasilnya dituangkan dalam bentuk buku ajar ini,” tambah Kuswijoyo.
Prof Al Makin, Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan, penghayat kepercayaan memiliki sejarah panjang di Indonesia.
Namun eksistensi mereka sangat berkaitan erat dengan kondisi politik.
Al Makin adalah penulis Buku Nabi-Nabi Nusantara, Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia, dan Membela yang Lemah demi Bangsa dan Ilmu.
Dalam catatannya, ada sekira 1.300 paguyuban atau kelompok kepercayaan di Indonesia dengan sekira 10 juta pengikut.
“Jumlah pastinya sulit diperoleh, karena mereka belum tentu bersedia mengaku."
"Di KTP memilih untuk menulis agama sesuai yang secara formal diakui negara, yang enam itu,” kata Al Makin.
Menurut catatan Al Makin, di masa Orde Lama, kepercayaan lokal tumbuh subur dan memiliki tempat di Indonesia.
Setelah 1965, komunitas ini pelan-pelan menurun eksistensinya karena sering menerima tuduhan sebagai penganut komunis.
Soeharto berupaya memanfaatkan keberadaan dan pengaruh mereka di era Orde Baru.
Untuk mengelolanya, menurut Al Makin, Orde Baru mendirikan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan.
Pasca Reformasi, penghayat kepercayaan kembali menemukan kebebasan untuk menjalankan keyakinan.
Namun di sisi lain, tumbuh pula ruang bagi kelompok lain untuk melakukan intimidasi.
Tonggak besar diperoleh pada 2017, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penghayat dapat memasukkan kepercayaannya ke dalam KTP.
• Kisah Sedih Irfangi Meninggal di Dekapan Ayahnya, Sesaat Setelah Tersambar Petir di Banjarnegara
• Pemuda Kober Ciptakan Mobil Listrik, Proposal Sempat Dicuekin Pemkab Banyumas, Begini Kisahnya
• Kisah Pasutri Pasien Covid-19 di Banjarnegara, NT Ngotot Minta Diisolasi Lagi Demi Temani Istri
Namun, kata Al Makin, kemajuan luar biasa itu lebih banyak hadir secara administratif.
Di lapangan, butuh perjuangan panjang untuk mencapai tahap ideal.
Di sektor pendidikan, kata Al Makin, kondisinya bahkan masih jauh dari harapan.
“Pendidikan mulai SD sampai perguruan tinggi, tidak mengarah kepada kurikulum keberagaman."
"Agama di pendidikan kita eksklusif, agama formal."
"Jadi, kemajuannya ada di level hukum nasional dan politik, tetapi dalam level praksis di masyarakat dan pendidikan masih jauh."
"Perlu reformasi luar biasa di dua kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kementerian Agama,” tambah Al Makin.
Menurut akademisi yang konsen pada agama-agama asli Indonesia ini, idealnya pendidikan agama di sekolah membuka ruang belajar mengenai agama atau kepercayaan lain.
Dengan demikian, kelas menjadi ruang di mana siswa belajar memahami perbedaan.
Tidak hanya agama resmi yang harus diperkenalkan, tetapi juga aliran kepercayaan.
Dengan begitu, terjalin dialog saling memahami, untuk membangun toleransi di tingkat sekolah.
Selain itu, penghayat kepercayaan, tambahnya, juga harus lebih tampil di masyarakat.
“Mereka harus berani bersuara, dan kita harus berani mendukung mereka."
"Butuh keberanian. Suarakan kepentingan mereka pada pemerintah."
"Sebagai intelektual, peneliti, warga negara, harus mendukung mereka."
"Penghayat kepercayaan harus memiliki daya tawar,” tegas Al Makin.
Angin segar yang dihembuskan negara bagi penghayat kepercayaan di tanah air memberi ruang besar sebagai payung hukum.
Namun, praktiknya di lapangan butuh perubahan di banyak sektor.
Perubahan ini patut diapresiasi, dalam bentuk dorongan bagi penghayat kepercayaan untuk menuntaskan perjuangan mereka.
Tidak hanya di sektor pendidikan, tetapi juga juga banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Para Pengajar Penghayat Kepercayaan, Mengajar Tanpa Bayaran: Paling Utama Regenerasi"
• Ruang Gerak Jaksa Terbatas dalam Sidang Online, Sulit Gali Keterangan Saksi Apalagi Periksa Bukti
• Tegal Jadi Pusat Distribusi Narkoba Wilayah Pantura Barat Jateng, Ini Penjelasan BNN
• Pelaku Palsukan Slip Setoran Nasabah BMT Insan Mandiri, Polisi Baru Terima 15 Pelapor di Banyumas