Dalam sidang DKPP, Mukti, seorang PNS di Purbalingga, menyebut rekomendasi Bawaslu setempat yang dikirimkan kepada KASN tanpa adanya klarifikasi darinya. Sehingga, pihaknya menyebut Bawaslu Purbalingga tidak profesional dalam menjalankan tugas.
TRIBUNBANYUMAS.COM, PURBALINGGA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) di Kantor KPU Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Jumat (10/7/2020).
Perkara nomor 66-PKE-DKPP/VI/2020 diadukan oleh Mukti Wibowo (PNS di Purbalingga) dan Santini (pensiunan PNS di Purbalingga) melalui kuasa hukumnya, Endang Yulianti dan Agus Suprihanto.
Keduanya mengadukan Ketua dan Komisioner Bawaslu Kabupaten Purbalingga. Yakni Imam Nurhakim, Joko Prabowo, Misrad, Teguh Irawanto, dan Setiawati sebagai Teradu I sampai Teradu V.
Pada sidang tersebut Mukti dan Santini mendalilkan para teradu tidak profesional dan tidak adil dalam penanganan temuan dugaan pelanggaran netralitas ASN, terkait temuan pelanggaran bernomor 04/TM/PB/Kab/14.26/V/2020 tanggal 14 Mei 2020.
• 23 ASN Purbalingga Melawan! Laporkan Balik Bawaslu ke DKPP, Kuasa Hukum: Tidak Profesional
• Lagi, 28 ASN Purbalingga Diberi Sanksi, Total 51 PNS Terbukti Langgar Netralitas berkait Pilkada
• Dana Hibah Pilkada Kabupaten Purbalingga Sudah Cair, KPU Purbalingga: Total NPHB Rp 31,6 Miliar
• Sepekan Terakhir Kasus Covid-19 di Banjarnegara Melonjak, Bupati: 21 Pasien Masih dalam Perawatan
Temuan dimaksudkan adalah video yang diduga merupakan tindakan ketidaknetralan dari PNS dalam kaitannya gelaran Pilkada Serentak 2020.
Video berisikan yel-yel yang diduga mendukung bakal calon (balon) bupati petahana, Dyah Hayuning Pratiwi ini pun akhirnya diteruskan oleh para teradu kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN).
Menurut Mukti, seorang PNS di Purbalingga, rekomendasi Bawaslu Kabupaten Purbalingga yang dikirimkan kepada KASN tanpa adanya klarifikasi darinya.
Hingga pada akhirnya Surat Rekomendasi dari KASN No. R-1568/KASN/5/2020 tertanggal 29 Mei 2020, Mukti pun direkomendasikan oleh KASN untuk diberikan sanksi karena dianggap melanggar netralitas ASN.
"Di sisi lain terdapat lima orang ASN yang ikut dalam pembuatan video dan juga sebagai ASN tetapi oleh Para Teradu tidak dinyatakan melanggar netralitas ASN dan tidak turut direkomendasikan kepada ASN,” jelas Mukti, dalam rilis Humas DKPP yang diambil dari laman dkpp.go.id, Jumat (10/7/2020).
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kabupaten Purbalingga, Imam Nurhakim mengungkapkan bahwa temuan berawal informasi video yel-yel yang diposting dalam media sosial Facebook. Informasi ini didapatkan pada 9 Mei 2020.
Klarifikasi Bawaslu Purbalingga
Dirinya membantah jika rekomendasi dari temuan tersebut dibuat berdasar kajian tanpa mengundang para pengadu untuk dimintai keterangan atau klarifikasi.
Menurutnya, Bawaslu Kabupaten Purbalingga telah mengundang sedikitnya 30 ASN, termasuk kedua Pengadu, untuk meminta klarifikasi.
“Yang hadir hanya 10 orang ASN. Pengadu I (Mukti) dan Pengadu II (Santini) termasuk pihak yang tidak hadir,” jelas Imam.
Hasil klarifikasi tersebut, kata Imam, terdapat pengakuan dari sejumlah ASN bahwa Mukti dan Santini ikut dalam proses pembuatan video yang berisi yel-yel diduga mendukung salah satu kandidat dalam Pilkada Kabupaten Purbalingga 2020.
ASN melawan, laporkan balik Bawaslu
Sebelumnya diberitakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Purbalingga telah memanggil dan memeriksa 23 aparatur sipil negara (ASN) di kabupaten setempat, yang diduga tidak netral dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, belum lama ini.
Dugaan ketidaknetralan ASN ini mencuat setelah video 23 ASN yang meneriakkan yel-yel dukungan terhadap Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, yang bakal kembali mencalonkan diri dalam Pilkada 2020.
Nah, 23 ASN dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Purbalingga melawan, dengan melaporkan balik Bawaslu kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Kuasa hukum ke-23 ASN Disdikbud Purbalingga, Endang Yulianti, menilai Bawaslu tidak profesional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Menurutnya, Bawaslu kurang cukup bukti dalam menindaklanjuti pelaporan maupun temuannya tersebut.
"Pelaporan maupun temuan itu, bisa ditindaklanjuti minimal dengan mempunyai dua alat bukti," tuturnya, saat dihubungi tribunbanyumas.com, Selasa (12/5/2020).
Bawaslu, kata dia, juga tidak terbuka ketika dimintai informasi pelanggaran apa yang dilakukan kliennya.
Oleh sebab itu pihaknya melakukan investigasi sendiri untuk mencari bukti yang dipersangkakan terhadap kliennya.
"Saya sebut kurang bukti, karena harusnya ada dua alat bukti."
"Dia (bawaslu) menggunakan alat buktinya video, di mana secara Undang-undang ITE itu bisa dijadikan alat bukti."
"Tapi saksi yang ada, saya menduga kurang memenuhi syarat sebagai saksi," jelasnya.
Dikatakannya, saksi pada perkara tersebut seharusnya orang yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri.
Namun saksi dimaksud Bawaslu adalah orang yang menemukan video.
"Kalau menurut pendapat hukum saya, itu bukanlah saksi. Bagi saya saksi itu adalah orang yang mendengar dan melihat peristiwa hukum itu," kata dia.
Baginya, konten yang jadi dipersoalkan adalah yel-yel bukan videonya. Semestinya yang dipersoalkan adalah peristiwa yel-yel itu.
"Jadi orang yang menemukan alat bukti tidak bisa dikatakan saksi. Jadi tidak memenuhi syarat formil," terangnya.
Selain itu, Endang menganggap temuan Bawaslu tidak memenuhi unsur yang dipersangkakan. Hal ini dikarenakan kliennya diperiksa terkait dugaan ASN tidak netral dalam Pemilu 2020.
"Kalau kita kaji video itu dibuat pada 2 Desember 2019. Waktu itu apakah sudah ada Pilkada. Apakah Bu Tiwi (Dyah Hayuning Pratiwi) mempunyai korelasi hukum Pilkada?" tanyanya.
Saat video dibuat, Kata Endang, Bupati Purbalingga belum ada korelasi hukum dengan Pilkada.
Oleh sebab itu dia mempertanyakan apakah yang dipersangkakan oleh Bawaslu terhadap klien tersebut dapat memenuhi unsur.
"ASN tidak netral saat Pemilu. Lha Pemilunya mana? Terus ketika ASN mendukung Bu Tiwi itu kapasitasnya pemimpin mereka atau sebagai calon Bupati?" jelasnya.
Dia menduga temuan Bawaslu itu adalah cacat formil dan tidak memenuhi unsur. Hal itulah yang dianggapnya Bawaslu tidak profesional.
"Upaya hukum kami adalah melaporkan ke DKPP. Karena seorang penyelenggara pemilu tidak profesional menjalankan tugas dan kewenangannya, itu melanggar kode etik dia," tutur dia. (*)
• 2.129 PPDP Wajib Jalani Rapid Test sebelum Coklit di Lapangan, KPU Purbalingga: Sesuai PKPU
• Klaster Secapa AD Bandung, 1.200 Personel Positif Covid-19, Ridwan Kamil: Ditangani Mabes TNI
• Ombudsman Jateng Ungkap Rapid Test Jadi Lahan Bisnis untuk Keuntungan Segelintir Oknum
• Begini Syarat Penerapan New Normal Menurut WHO dan Bappenas, Daerah Mana Sudah Siap?