Berita Demak

Derita Anak Pesisir Demak, Banjir Rob Menahun Ganggu Kesehatan Mental: Mau Main Keluar Susah

Banjir rob menahun di Timbulsloko, Sayung, Demak, merusak kesehatan mental anak-anak setempat. Tak ada tempat sebagai arena ermain bersama.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: yayan isro roziki
Tribunbanyumas.com/Iwan Arifianto
Anak Timbulsloko pulang dari sekolah menggunakan perahu untuk menuju ke rumahnya. Biaya naik perahu Rp5 ribu, fasilitas ini hanya digunakan bagi anak yang memiliki uang saku lebih. Sebaliknya, jika tidak ada uang mereka harus jalan kaki sejauh 2,5 kilometer untuk menuju daratan, di Kabupaten Demak, Jumat (16/6/2023) sore. 

Rasa khawatir terhadap banjir rob masih terus ada dipikirannya. 

Kadangkala hal itu membuatnya sedih melihat kampungnya seperti ini.

"Angin kencang dicampur hujan deras dan air rob naik, kondisi itu paling bikin takut," akunya.

Anak Timbulsloko, Siti Jumiyati (11) mengatakan, banjir rob telah membuatnya kehilangan banyak hal.
Di antaranya barang-barang seperti peralatan sekolah, buku, kasur, dan lainnya.

Ketika air laut pasang sebenarnya harus bersiap-siap dengan menaikkan barang-barang ke posisi lebih tinggi.

"Namun seringkali rob datangnya malam saat sedang tidur," ujar bocah perempuan yang akrab disapa Jujum.

Ia menyebut, kondisi banjir rob yang terjadi di desanya membuatnya terganggu terutama ketika tidur.

Suara deburan air laut yang tepat berada di bawah kolong tempat tidurnya seringkali menganggu.

"Maunya terbaik di kampung ini. Rob pinginnya hilang dari sini," kata siswi kelas 6 di SD Timbulsloko 1.

Hal yang sama dirasakan Adinda Millatul Azka (15). Pelajar SMA 1 Sayung itu mengaku, acapkali terganggu tidurnya manakala angin dan ombak suara terlalu bergemuruh.

Dahulu ketika kampungnya belum diserang rob suara angin dan ombak tidak sekencang sekarang karena jauh dari kampung.

"Suara itu sering bikin bangun tengah malam," katanya.

Banjir rob besar juga membuatnya takut lantaran bisa masuk ke dalam rumah. Terutama ketika memasuki musim penghujan.

"Air rob besar bisa masuk ke dalam  rumah. Buku-buku pelajaran bisa hanyut. Hampir setiap tahun terjadi," katanya.

Jadi sasaran bullying

Para anak pesisir di Timbulsloko memiliki beban tambahan. 

Mereka yang statusnya sebagai anak pesisir kian berat lantaran mendapatkan bullying di sekolah.

Mereka diejek oleh para temannya lantaran kampung mereka tenggelam.

"Saya sudah diejek tiap ganti sekolah, SMP dulu dan sekarang SMA gitu diejek ketika dengar saya dari Timbulsloko," ucap Dinda.

Ia diejek kampungnya sebagai kampung banjir. Ejekan itu baginya tak masalah lantaran faktanya seperti itu.

"Diledekin desa kog banjir, saya  tidak malu, meskipun inginnya saat besar nanti pergi dari sini," tuturnya.

Begitupun dengan anak Timbulsloko lainnya, Huda menuturkan, bully-an sering diperolehnya di sekolah saat bermain dengan teman-temannya.

Banyak temannya yang mencemoohnya karena kondisi kampungannya yang terendam rob.

Kondisi kampungnya dibanding-bandingkan dengan desa lainnya yang tidak direndam rob.

"Dibully gitu. Minimal desa tidak tenggelam, Timbulsloko tenggelam," paparnya.

Meski di-bully sampai sekarang, Huda menanggapinya dengan santai. Bahkan, ia mengaku, tak ambil pusing soal bullying tersebut.

"Saya diam saja. Tidak perlu dibalas," terangnya.

Sama halnya dengan Tyo yang mendapatkan bullying dari para teman di sekolahnya.

Ia tak bisa berbuat banyak untuk sehingga hanya menerima ketika diejek para temannya soal kondisi kampung yang rob."Hanya bisa diam. Bingung balasnya," terangnya.

Rob dampak krisis iklim

Cerita para anak-anak pesisir di kampung tenggelam Timbulsloko menegaskan bahwa mereka hidup di sana tidak baik-baik saja. 

Menurut Ketua Forum Dukuh Timbulsloko, Kabupaten Demak, Ashar, kampungnya kini dihuni oleh 147 kepala keluarga (KK) dengan lebih dari 300 jiwa, jumlah anak-anak di angka sekira 130 jiwa.

"Kampung sini mayoritas anak-anak, bisa dilihat mereka kondisi susah bermain, belajar dan hidup tak layak sebagai sewajarnya anak-anak," katanya.

Jurnal ilmiah yang dikeluarkan Aida Rusmamariana (2020), tentang Identifikasi Trauma Dampak Rob Pada Anak di Kabupaten Pekalongan menunjukkan bahwa bencana memiliki dampak yang sangat besar terhadap kesehatan psikologi anak antara lain gejala ketakutan, depresi, kecemasan, menyalahkan diri sendiri, rasa bersalah serta kehilangan minat pada sekolah dan aktivitas lainnya. 
    
"Disimpulkan bahwa masalah kecemasan banyak dialami oleh anak-anak korban banjir," tulisnya dalam jurnal tersebut.

Laporan yang diterbitkan UNICEF melalui pengembangan  Children’s Climate Risk Index (CCRI) atau Indeks Risiko Iklim Anak pada Agustus 2021, menemukan sebanyak 240 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi terhadap banjir rob. Artinya, 240 juta anak (hampir 1 dari 10 anak di dunia) kini punya keterpaparan tinggi terhadap banjir rob.

Kondisi ini berpotensi memburuk seiring dengan naiknya permukaan laut yang dampaknya kian parah saat terjadi gelombang badai.

Dalam jurnal yang diterbitkan  Frontiers pada 2010, sebuah lembaga penerbit riset dan platform sains terbuka yang berbasis di Swiss, ada tiga kategori dampak kesehatan mental dari perubahan iklim meliputi dampak langsung, tidak langsung, dan perwakilan.

Sebagian besar penelitian berfokus pada dampak langsung perubahan iklim terhadap kesehatan mental, yang terjadi setelah mengalami peristiwa cuaca ekstrem seperti banjir, gempa bumi, atau angin topan.

Gangguan hidup utama ini dapat menyebabkan gangguan  PTSD, gangguan depresi, gangguan kecemasan, dan pikiran untuk bunuh diri.

Dampak tidak langsung dari perubahan iklim juga dapat mempengaruhi kesehatan mental melalui konsekuensi terhadap ekonomi, migrasi, kerusakan infrastruktur fisik dan sosial.

"Berikutnya kekurangan pangan dan air, serta konflik, semuanya telah dikaitkan dengan stres, kesedihan, kecemasan, dan depresi," tulis penelitian tersebut.

Menurut laporan dari UNICEF, krisis iklim adalah krisis hak Anak, laporan tersebut menyebutkan, satu miliar anak berada pada risiko yang sangat tinggi dari perubahan iklim dan jumlah itu kemungkinan akan meningkat.

Dalam laporan yang sama, Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.

Spesialis Perlindungan Anak dari Unicef, Ali Aulia Ramli  mengatakan, ada keterkaitan perubahan iklim dengan kesehatan mental anak. "Para anak pesisir terdampak rob terganggu kesehatan mentalnya lantaran hak-haknya dirampas seperti ruang bermain yang hilang akibat rob," terangnya.

Resiliensi jadi solusi

Psikolog Semarang, Luh Putu Shanti Kusumaningsih, S.Psi, M.Psi mengatakan, kesehatan mental adalah sebuah kondisi yang terjadi pada individu berupa perasaan bahagia, ketenangan dan optimis dalam menjalani kehidupan baik secara emosional, fisik dan psikis.

Kesehatan mental seseorang akan terganggu jika individu tidak mampu menyesuaikan diri terhadap situasi atau kondisi yang tidak menyenangkan.

Penyebab munculnya gangguan kesehatan mental pada anak  terdapat banyak faktornya.  

Di antaranya faktor genetik yang mungkin diturunkan dari salah satu orang tua baik ayah atau ibu yang memang sudah memiliki riwayat ini.

Kedua, faktor lingkungan seperti lingkungan bermain yang tidak sehat, penuh dengan bullying, ditolak lingkungan atau terbiasa mengalami kekerasan di dalam keluarga.

"Faktor fisik juga bisa menjadi penyebab terjadinya gangguan mental," tuturnya.

Menurutnya, peran orang tua sangat besar agar anak-anak pesisir dapat menjalani tumbuh kembangnya dengan baik.

Orangtua bisa menjadi role model atau panutan dengan memberikan contoh berupa sikap dan tindakan yang lebih tenang dengan menerima situasi rob di sekitar lingkungannya sebagai bagian dari kehidupan.

Kemudian mengubah kondisi tersebut menjadi sesuatu yang lebih positif juga produktif. "Kalau untuk anak-anak peran orangtua di sini sangat penting," katanya.

Selain itu, sebaiknya perlu adanya perhatian dari pihak-pihak pemerhati lingkungan untuk dapat membantu memberdayakan sumber daya manusia (SDM) yang ada di lingkungan rob agar dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang lebih produktif secara ekonomi.

"Tujuannya supaya penduduk di sekitaran rob terus berkembang walaupun harus tinggal di lingkungan pesisir," terangnya.

Ia menambahkan, sebaiknya memang diusahakan anak-anak tidak tinggal di lingkungan yang kurang sehat seperti lingkungan permukiman yang selalu dikelilingi dengan air laut.

Sebab hal itu jelas akan membatasi kegiatan anak dalam bersosialisasi, entah bermain atau bahkan belajar bersama dengan teman-temannya.

Sebab, mereka  tidak bisa bebas sewaktu-waktu untuk dapat melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari.

"Akibatnya kalau ini terjadi secara terus menerus maka pasti akan membuat anak menjadi terganggu tumbuh kembangnya secara psikologis," terangnya.

Namun, para orangtua tentu tak mudah melakukan migrasi lantaran sangat tergantung dari segi ekonomi.

Ia menyebut, cara yang paling efektif secara psikologis bagi anak adalah mengajarkan kemampuan resiliensi pada anak atau kemampuan individu mampu menerima dan mengganggap situasi tidak nyaman menjadi bagian dari kehidupannya, baik itu situasi buruk ataupun situasi merugikan dirinya.

Artinya, anak diajak untuk dapat menerima dan beradaptasi dengan kondisi yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan bersama dengan keluarga sesuai perannya masing-masing untuk dapat bersama sama menghadapi kesulitan.

"Supaya lebih kuat dan  berdaya dalam situasi apapun," tuturnya.

Pakar Lingkungan  Pesisir Semarang, Mila Karmila, mengatakan,berdasarkan pengalaman selama melakukan penelitian di Timbulsloko, terkait kesehatan mental belum banyak kasus yang ditemukan berdampak bagi anak-anak, hal ini mungkin disebabkan anak-anak lebih banyak melihat situasi ini sebagai situasi yang berbeda dengan lingkungan di luar Timbulsloko.

Hanya saja, Timbulsloko direndam rob memiliki dampak pada kurangnya kawasan bagi anak-anak untuk melakukan kegiatan bermain yang dahulu ada lapangan saat ini sudah tidak ada berganti menjadi air.

Berdasarkan penelitian lapangan di Timbulsloko, tingkat keparahan kondisi kampung tersebut terhadap anak tidak dapat diukur karena mungkin indikator yang digunakan banyak dan beragam.

Namun, item yang dapat dipastikan bahwa hak anak untuk mendapatkan ruang bermain yang layak sudah tidak didapatkan dalam bentuk maupun fasilitas yang layak.

Kemudian akses mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak juga semakin terhambat akibat akses ke Timbulsloko sulit terutama apabila air menggenang maka mereka harus naik perahu.

Biaya setiap naik perahu Rp5 ribu pulang pergi menjadi Rp10 ribu. 

Biasanya fasilitas naik perahu digunakan bagi keluarga yang mampu. Sebaliknya, mereka yang tak mampu terpaksa berjalan kaki sejauh sekira 2,5 kilometer keluar kawasan untuk mendapatkan pendidikan.

"Anak kadangkala mengalami kelelahan lalu memutuskan untuk tidak sekolah. Hal-hal seperti ini yang harus menjadi pertimbangnan pemerintah jika akan melakukan intervensi," katanya.

Tak hanya tempat bermain,  kampung yang dikelilingi air seringkali juga tidak sehat dan berbahaya lantaran kemungkinan jatuh dan tergelincir.

Air rob yang  tidak bersih memiliki dampak lanjutan berupa penyakit-penyakit yang ditimbulkan seperti diare, ataupun penyakit menular yang dibawa oleh binatang pengerat seperti tikus.

"Tapi yang terlihat jelas adalah kurangnya tempat bermain bagi anak-anak," ungkapnya.

Ia menegaskan, pemerintah harus mengambil peran lalu mencari solusi yang harus melihat perspektif anak, ataupun kelompok rentan lainnya. 

Sebab, kebutuhan setiap kelompok masyarakat berbeda, seperti jika mereka masih tetap berada di kawasan tersebut maka pemerintah harus menyediakan tempat bermain misal rumah yang difungsikan sebagai tempat bermain yang ramah anak.

"Supaya  anak tidak kehilangan haknya untuk bermain yang ini sebenarnya diatur dalam konvensi hak anak," bebernya.

Dalam hal  pendidikan juga perlu diperhatikan semisal mendatangkan guru ke kawasan-kawasan terdampak rob sehingga beban anak dan orang tua berkurang untuk memberikan pendidikan yang baik.

"Terkait penyediaan air dan sanitasi sehat juga harus mendapatkan perhatian karena akan berimbas pada kesehatan dan gizi anak," ucapnya.

Celakanya, Pemerintah Kabupaten Demak tidak menganggap anak pesisir bagian dari korban dampak perubahan iklim.

Mereka lebih memandang anak lahir di pesisir sebagai bagian dari nasib lantaran anak pesisir bukan korban (perubahan iklim) karena orangtua mereka sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana.

“Kita tinggal melakukan pembinaan bersama dalam menjaga tumbuh kembang anak yang dilakukan lintas sektoral mulai dari Dislutanak, Dinas pendidikan, Dinkes, dan lainnya," ujar Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P2PA) Demak, Eko Pringgo Laksito kepada Tribun, Rabu (5/7/2023).

Ia mengklaim, sebenarnya kebutuhan dasar anak di pesisir seperti ruang bermain sudah tercukupi.

Sebab, mereka bisa bermain di serambi masjid dan di atas perahu. Semisal kurang puas bermain dapat dilakukan di sekolah.

"Saya lihat anak-anak di sana tetap enjoy," katanya.

Kendati begitu, pihaknya memberikan pesan kepada sekolah dalam langkah perlindungan anak pesisir supaya berinovasi agar anak dapat bermain dengan gembira ketika di tempat tersebut.

"Di rumah mereka tak bermain bebas tetapi di sekolah saya yakin anak-anak mendapatkan banyak waktu bermain," ucapnya.

Di sisi lain, ia mengungkapkan, sudah ada alokasi anggaran khusus yang disalurkan ke anak pesisir Demak terdampak rob.

Yakni melalui peraturan Bupati Demak tentang penggunaan dana desa melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) agar dialokasikan untuk desa ramah anak.

Terkait besaran anggaran tergantung dari musyawarah desa.

"Alhamdulillah karena penyusunan APBDes harus ada persetujuan dari Camat sedangkan Camat berpedoman terhadap peraturan bupati itu sehingga sudah diaplikasikan," katanya.

Namun, ia mengungkapkan, dana tersebut selama ini banyak disalurkan melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk pencegahan stunting.

"Kami pastikan anak (pesisir) harus mendapatkan pelayanan dasar di bidang kesehatan dan pendidikan demi penyelamatan generasi Indonesia Emas tahun 2045 yang harus dikawal dari sekarang," dalihnya. (Iwn)

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved