Berita Budaya
Dibahas Dosen ISI Solo dan Yogyakarta, Gaya Mbeling Ki Enthus Dinilai Bangun Kebaruan Perdalangan
Gaya mendalang Ki Enthus yang slengekan dinilai membangun kebaruan dalam dunia dalang di Tanah Air.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: rika irawati
Sugeng mengatakan, Enthus dikenal sebagai dalang yang menolak tunduk pada zona nyaman atau aturan-aturan pedalangan yang ada.
Ia jauh dari kesan dalang yang tampil kalem, jaga wibawa, serta menonjolkan citra adiluhung yang dipraktikan sekolah dalang di keraton.
Enthus merupakan antitesis dari aturan-aturan pedalangan yang ada.
Menurut Sugeng, Enthus berani mendobrak pakem yang selama ini dipakai dengan tata cara kratonan, baik cara Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta.
"Sebetulnya, seni pedalangan awalnya merupakan seni rakyat, bukan keraton. Dengan cirinya, yakni nuansa yang dibangun dengan kebersamaan dan keakraban baik antarpemain maupun antarpemain dan penonton."
"Mereka, secara fisik dan nonfisik, tidak ada jarak, peralatan pentas sederhana, mereka tidak mengenal adanya paugeran pedalangan. Yang penting semangat gropyok ramai," katanya.
Sugeng mengatakan, pembakuan etika dan estetika pedalangan sempat dibukukan di Padhasuka (1923) dari Kasunanan Surakarta, Habirandha (1925) dari Kasultanan Yogyakarta, dan PMDN (1931) yang merupakan sekolah dalang di Pura Mangkunegaran.
Namun, demikian, kata Sugeng, aksi Enthus tersebut berpengaruh pada sejumlah dalang di Tanah Air.
Sebut saja, Ki Narto 'Gemblung' dari Blora dan Ki Redi 'Mbelung' dari Blitar, yang kerap menari di panggung dalang.
Kemudian, Ki Seno Nugroho (Yogyakarta) yang kerap berinteraksi dengan para pesinden.
Hal senada juga diungkapkan dosen ISI Yogyakarta, Hariyanto.
Baca juga: Akun Twitter Satlantas Polresta Banyumas Diretas, Polda Jateng Turun Tangan Buru Pelaku
Baca juga: IDI Kudus Minta Warga Tak Takut Divaksin Astrazeneca, Syaifuddin: Semua Vaksin Bisa Timbulkan KIPI
Baca juga: Pemkab Tegal Tegur Kontraktor Proyek Jalan Kendayakan-Warureja, Pekerjaan Terlambat 29 Persen
Baca juga: Tak Terdampak Pandemi Covid, Bisnis Teri Nasi Cepiring Kendal Tembus Pasar Jepang
Enthus kerap mengklaim bahwa gaya yang dimainkan dalam pakeliran merupakan Gagrak Tegalan.
Ia ingin keluar dari pakem yang dibuat di Gagrak Solo dan Yogyakarta.
"Dalam penelitian saya, ia lebih memainkan wayang dengan gagrak campuran yang memiliki kekuatan verbal serta permainan visual menonjol yang berani menggunakan ragam permainan bahasa. Ada 'pisuhan', tabu, kasar namun berhasil memukai banyak orang," ucap Hariyanto.
Alumnus Kajian Budaya Sanata Dharma ini juga menyebut Enthus sebagai Don Juan.