Berita Budaya
Dibahas Dosen ISI Solo dan Yogyakarta, Gaya Mbeling Ki Enthus Dinilai Bangun Kebaruan Perdalangan
Gaya mendalang Ki Enthus yang slengekan dinilai membangun kebaruan dalam dunia dalang di Tanah Air.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: rika irawati
Lantaran, ada kemiripan cara dan strategi yang digunakan JL Austin (1962) dalam How to Do Things With Words: Shosana Felman dalam The Scandal of Speaking Body membaca mitos Don Juan dan Ki Enthus Susmono.
Enthus membuai penonton dengan eklektisme, parodi, ironi, melalui permainan bahasa (non arkahis, pisuhan, satire).
Kemudian, permainan idiom ini bentuk menjanjikan keaslian gagrak Tegalan, namun digagalkan sendiri karena tetap menyajikan pertunjukan dengan ciri khas seperti sebelumnya
"Sebagai dalang, Ki Enthus memainkan tuturan menggoda, mengajak, mengancam, untuk menghasilkan ilusi agar penonton terbuai."
"Melalui ujaran rayuan yang menggoda dan membuai lewat bahasa itulah ia sukses menjadi dalang kontroversial dan menjadi mitos dalam dunia pedalangan sebagai dalang edan penabrak pakem. Ki Enthus adalah Don Juan, jago merayu, membuai, dan melanggar janji," ujarnya.
Hariyanto mengatakan, Enthus dapat dibaca sebagai pihak yang mempresentasikan orang terasing, bosan, penat, jenuh, bahkan tidak sesuai dengan gairah atau hasrat untuk mencapai kenikmatan fiksi wayang.
Gagrak keraton atau istana sentris tidak dapat memberikan kepuasan atau kenikmatan fiksi bagi Ki Enthus, yakni ekspresi seniman sebagai dalang untuk mencapai estase dalam jagat wayang.
Sehingga, bisa dikatakan, ada genre baru yakni Gagrak Enthus Susmono.
"Gagrak Enthus dapat dibaca sebagai kebaruan karena kemudian menjadi titik pertemuan kultur baru: Jawa (Surakarta-Yogyakarta), Tegal-Pesisiran, Sunda, Islam, dan kontemporer. Caranya dengan strategi ngedan (menggila) sebagai representai seni postmodern, eklektis, parodi, dan ironi," terang Hariyanto. (*)