Berita Bisnis

PWNU Jatim Keluarkan Fatwa Haram Kripto, Termasuk Bitcoin. Begini Sejarah Mata Uang Virtual Itu

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PWNU Jatim) mengeluarkan fatwa haram untuk uang kripto atau cryptocurrency.

Editor: rika irawati
TRIBUNNEWS/CPA Canada
Ilustrasi aset kripto. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (PWNU Jatim) mengeluarkan fatwa haram untuk uang kripto atau cryptocurrency.

Fatwa haram tersebut diputuskan sesuai hasil kajian lembaga Bahtasul Masail pada Minggu (24/10/2021) lalu.

PWNU Jatim menilai, aset kripto mengandung spekulasi sehingga bisa merugikan orang lain.

Tak hanya haram digunakan sebagai alat transaksi, mata uang kripto juga tidak bisa dijadikan instrumen investasi.

"Karena lebih banyak unsur spekulasinya. Jadi, itu tidak bisa menjadi instrumen investasi," ujar Wakil ketua PWNU KH Ahmad Fahrur Rozi dikutip dari Kompas.com.

Untuk diketahui, mata uang kripto, salah satunya bitcoin, sejarah perkembangannya bisa dilacak sejak dua dekade lalu.

Potensi Risiko Aset Kripto

Bank Indonesia (BI) menjabarkan beberapa risiko dari aset kripto.

BI melihat, dampak perdagangan aset kripto terhadap stabilitas sistem keuangan di Indonesia masih terbatas.

Pertama, risiko pasar yang muncul dari volatilitas harga aset tanpa ada transaksi underlying. Ini menyebabkan valuasi menjadi susah dilakukan.

Baca juga: MUI Keluarkan Fatwa: Vaksinasi saat Ramadan Tak Membatalkan Puasa

Baca juga: Simak Pedoman Pemakaman dan Pemulasaraan Jenazah Korban Virus Corona dari Fatwa MUI

Baca juga: PBNU dan PP Muhammadiyah Kompak Imbau Tak Gelar Salat Jumat untuk Sementara Waktu, Sesuai Fatwa MUI

Baca juga: Fatwa Rokok Elektrik Haram, PW Muhammdiyah Jateng: Tak Perlu Resah, Tak Ditaati Tak Apa-apa

Kedua, risiko kredit, apabila dana yang digunakan masyarakat untuk berinvestasi berasal dari pinjaman lembaga keuangan.

Ketiga, risiko disintermediasi sejalan dengan shifting penggunaan dana untuk tujuan investasi di aset kripto yang dapat berdampak pada penurunan pembiayaan ke sektor riil, terutama jika nilai transaksi tumbuh signifikan.

BI juga menyebut, literasi masyarakat atas potensi risiko investasi pada aset kripto tetap harus ditingkatkan.

Pasalnya, bisa saja, masyarakat tergiur dengan kenaikan harga aset kripto yang sangat signifikan dalam kurun waktu pendek.

Padahal, tak melulu manis, aset kripto juga memiliki risiko yang tinggi karena ini memiliki volatiltas harga aset yang cukup tinggi tanpa adanya transaksi underlying.

"Untuk itu, literasi mengenai karakteristik dan potensi kerugian yang mungkin timbul dari investasi pada set kripto perlu ditingkatkan," tulis BI dalam Kajian Stabilitas Keuangan No 37, yang diluncurkan Selasa (5/10/2021).

"Perdagangan aset kripto saat ini masih bersifat early stage, fasilitas yang dimiliki pedagang masih terbatas pada spot trading dengan jumlah transaksi aset kripto yang masih kecil, bila dibandingkan dengan transaksi saham," lanjut tulisan tersebut.

Minat Investasi Aset Kripto Melonjak

Bank Indonesia (BI) melihat adanya peningkatan jumlah investor dan transaksi aset kripto pada semester I-2021.

Mengutip dari Indodax, bank sentral menyebut, ada peningkatan signifikan jumlah investor maupun transaksi aset kripto dari akhir 2020 dan mencapai puncaknya pada Maret 2021.

"Pada Maret 2021, jumlah investor mencapai sekitar 3,5 juta hingga 4,0 juta. Tetapi, jumlah active trader dibandingkan total investor hampir mencapai 21,5%," tulis bank sentral.

Peningkatan yang pesat tersebut sejalan dengan kenaikan harga aset kripto yang juga signifikan pada Maret 2021.

Pada saat itu, salah satu jenis aset kripto yang paling diminati masyarakat Indonesia adalah Bitcoin.

Baca juga: Selamat! Pemural Asal Cilacap Juara 3 Bhayangkara Mural Festival di Mabes Polri

Baca juga: Stok Vaksin untuk Dosis Dua Habis, Sekda Kendal: Tak Pengaruhi Jadwal Vaksinasi Dosis Pertama

Baca juga: Diundang ke Bali, Kie Art School Purbalingga Tampilkan Kesenian Ujungan Berusia 111 Tahun

Baca juga: Hasil Survei LSIN, Lima Menteri Mendapat Penilaian Berkinerja Terbaik. Ini Nama-namanya

Jenis ini bahkan diperdagangkan dengan harga yang paling tinggi.

Sebut saja, pada periode tersebut, Bitcoin sempat mencapai level tertinggi sebesar Rp 850 juta per keping atau naik 112,5% dari level Desember 2020 yang sebesar Rp 400 juta per keping.

Kenaikan harga yang cukup tajam tersebut, antara lain dipengaruhi kemudahan membuat akun di berbagai perdagangan aset kripto dengan modal yang relatif kecil, serta adanya pembelian BItcoin oleh beberapa korporasi besar global.

Sementara, di Amerika Serikat (AS), stimulus fiskal juga turut mendorong ruah tangga yang memilih aset kripto sebagai alternatif investasi (safe haven).

Sejarah Mata Uang Kripto

Ternyata, sejarah mata uang kripto tak bermula dari pengembangan bitcoin.

Dilansir dari Forbes, sebelum bitcoin dikembangkan, telah dilakukan beberapa upaya membuat mata uang berbasis digital dengan buku kas atau catatan besar transaksi yang terenkripsi.

Pengembangan mata uang daring (dalam jaringan/online) ini terjadi pada medio tahun 1998 hingga tahun 2009.

Dua contoh prpyek pengembangan mata uang daring tersebut, yakni B-Money dan Bit Gold, yang hingga saat ini, tidak pernah benar-benar terealisasi.

Dilansir dari The Balance, ide pengembangan mata uang digital terjadi di Belanda dan Amerika Serikat di tahun 1980an.

Mata uang digital paling awal dan dianggap setara dengan aset kripto yang saat ini berkembang yakni Digicash.

Meski demikian, Digicash berakhir gagal pada tahun 1990an.

Kemudian, perusahaan penyedia jasa pembayaran asal Amerika Serikat, PayPal, serta beberapa kompetitornya mulai mengembangkan pendekatan transaksi digital dengan mata uang yang saat ini tersedia.

Hingga saat ini, bisnis jasa layanan transaksi digital memainkan peran besar di bisnis perdagangan online lintas negara.

Hingga akhirnya tahun 2008, sebuah sebuah dokumen dengan judul Bitcoin-Sistem Uang Elektronik Peer to Peer diunggah di sebuah forum diskusi mailing list kriptografi.

Dokumen tersebut diunggah oleh seseorang yang menyebut dirinya Satoshi Nakamoto.

Hingga saat ini, identitas Satoshi Nakamoto masih menjadi misteri.

Perangkat lunak atau software bitcoin mulai tersedia untuk publik pertama kalinya di tahun 2009.

Di tahun yang sama, proses penambangan untuk bisa mendapatkan bitcoin dimulai.

Jumlah bitcoin yang beredar pun kian banyak seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang melakukan porses tambang.

Baca juga: Dijuluki Ratu Ular, Nenek Asal Purwokerto Banyumas Kerap Bantu Warga Tangkap dan Koleksi 75 Ular

Baca juga: Viral Mobil Plat Merah Milik Dinkes Klaten Halangi Ambulans, Begini Kronologi dan Akhirnya

Baca juga: UNS Solo Evaluasi Keberadaan Menwa: Sementara Dilarang Melakukan Aktivitas Apapun

Baca juga: Buka Diklatsar Satgas Karang Taruna, Bupati Purbalingga Ingin Anak Muda Jadi Agen Perubahan

Hingga akhirnya, di tahun 2010, untuk pertama kalinya, seseorang memutuskan untuk menjual bitcoin mereka, yakni sebanyak 10.000 bitcoin untuk dua loyang pizza.

Bila orang tersebut memutuskan menahan bitcoin yang ia miliki, nilainya saat ini bisa mencapai lebih dari 100 juta dollar AS. Saat ini, bitcoin dihargai lebih dari sekitar 60.000 dollar AS per keping.

Aset kripto selain bitcoin mulai berkembang di kisaran tahun 2011.

Aset kripto alternatif atau disebut juga dengan altcoin mulai berkembang seiring dengan kian populernya konsep mata uang yang terdesentralisasi dan terenkripsi.

Saat ini, secara keseluruhan, ada lebih dari 10.000 mata uang kripto yang diperdagangkan di seluruh dunia. (Kompas.com/Tribunnews.com)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul PWNU Jawa Timur Keluarkan Fatwa Haram Mata Uang Kripto, Kenali Potensi Risikonya.

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved