Berita Semarang
Kisah Eks Napiter di Kota Semarang, Dari Merakit Bom Hingga Dampingi Eks Napiter Lain Buka Usaha
Kesan sangar jauh dari sosok Machmudi Hariono alias Yusuf, mantan napi teroris atau eks napiter yang pernah berangkat ke Filipina untuk berjihad.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Kesan sangar jauh dari sosok Machmudi Hariono alias Yusuf, mantan napi teroris atau eks napiter yang pernah berangkat ke Filipina untuk berjihad.
Ia, kini telah insyaf dan memilih kembali ke pangkuan NKRI, serta menjalani kehidupan normal.
Pria tiga anak ini kini tinggal di Jatisari, Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
Kemampuan dan jaringannya di bidang terorisme yang dia kuasai, sekarang dimanfaatkan Yusuf untuk kepentingan bangsa dan negara.
Satu di antaranya, lewat pendirian Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani).
"Tujuan kami mendirikan Persadani, untuk menggandeng para eks Napiter agar mereka bisa kembali ke masyarakat dan menempuh hidup baru," paparnya kepada Tribunbanyumas.com, Selasa (20/10/2020).
Baca juga: Terdampar di Desa Bawang, Deden Akhirnya Pulang ke Bandung Dibantu RSI dan Pemkab Banjarnegara
Baca juga: Warisan Budaya Tak Benda, Begini Sejarah Telur Asin Brebes: Awal dari Warga Tionghoa Bertahan Hidup
Baca juga: Tak Digaji, Kakek di Kota Semarang Ini Ikhlas Bantu Pemakaman Ratusan Korban Covid-19
Semangat membentuk wadah tersebut tidak lepas dari kisah masa lalunya yang bergumul dengan serangkaian aksi terorisme.
Yusuf ingat betul awal dia terlibat dalam jaringan terorisme. Sikap kritisnya yang tumbuh sejak SMA menjadi pintu dia masuk dunia tersebut.
Ia kritis terhadap konflik Ambon Poso, Afganistan, Bosnia dan beberapa konflik di negera Islam.
Daya kritisnya yang tinggi tersebut seperti bola salju yang terus membesar, yang kemudian menuntunnya pergi ke pondok pesantren milik Amrozi, terpidana mati Bom Bali I.
"Akhirnya, saya bersama teman-teman lain pergi ke Ambon-Poso. Keinginan utama saya hanya ingin menjadi relawan di sana, ingin melihat konflik secara lebih dekat. Tidak muluk-muluk bisa belajar militer dan sebagainya, meskipun dalam perjalanannya, akhirnya mendapat latihan militer," jelasnya.
Selepas dari Ambon-Poso, ia menyeberang ke Filipina untuk menjadi kombatan perang. Di negara tersebut, kemampuannya dalam menggunakan senjata dan bom makin terlatih.
Selepas menghabiskan waktu sekira tiga tahun di Ambon-Poso hingga Filipina, Yusuf memilih kembali ke Surabaya, Jawa Timur, lantaran situasi sudah kondusif pada Juli tahun 2002.
Tidak lama kemudian, Oktober 2002, terjadi Bom Bali 1 sehingga memaksanya pergi dari Surabaya ke Kota Semarang.
Ia pergi ke Semarang bersama tiga temannya dengan dimodali oleh seseorang, sebesar Rp 20 juta.
Tujuan dia ke Semarang adalah memulai lembaran hidup baru. Sebab, dari kejadian Bom Bali I, ia mulai meragukan aksi jihad yang dilakukan lewat terorisme.
Menurutnya, pemikiran yang berlebihan yang diaplikasikan lewat jihad yang menghalalkan aksi terorisme untuk membunuh, bahkan umat islam itu sendiri, menjadi alasan paling logis yang ia yakini sebagai kesalahan.
Mereka lalu memilih mengontrak rumah di Jalan Sri Rejeki Kalibanteng Kidul, Semarang Barat, pada Januari 2003 sembari berjualan sandal dan sepatu.
"Tiga bulan pertama, kami aman-aman saja. Bulan berikutnya, pemodal kami menitipkan kami barang-barang di dalam koper besar agar disimpan di rumah tersebut," jelasnya.
Baca juga: 4 Mahasiswa Tersangka Perusakan saat Demo Tolak UU Cipta Kerja di DPRD Jateng Jadi Tahanan Kota
Baca juga: Tak Munculkan Klaster Baru Covid-19, Wakil Ketua DPRD Kota Tegal Berharap Divonis Tak Bersalah
Baca juga: Ada 1,6 Juta Kendaraan Menunggak Pajak, Bapenda Harap Pemilik Manfaatkan Program Dispensasi Denda
Baca juga: Rencana Pemekaran Banyumas, Pemkab Mulai Sosialisasikan dan Minta Masukan dari Camat serta Kades
Tak disangka, ternyata, koper itu berisi barang-barang berupa bahan peledak, peluru, dan sebagainya.
Rinciannya, 88 TNT, 90 butir high empolsive, 750 kilo bahan peledak dan selebihnya peluru, kabel ledakan, 1.000 detonator, dan lainnya.
"Berhubung yang minta menyimpan bos maka saya tidak curiga tetapi saya kaget. Ketika tanggal 9 Juli atau satu bulan sebelum bom JW Marriot 1, kami ditangkap Densus 88 dengan dakwaan terlibat Bom Bali I karena barang tersebut merupakan sisa dari bahan bom Bali I," katanya.
Yusuf melanjutkan, bersama tiga temannya, dia dijebloskan ke penjara dengan dakwaan terlibat jaringan teroris.
Mereka dituntut Jaksa 20 tahun penjara namun vonis yang dijatuhkan 10 tahun.
Perjalanannya, mereka menjalani hukuman hanya 6 tahun karena berkelakuan baik dan kooperatif di Lapas Nusakambangan.
"Awalnya, kami ajukan banding dan kasasi lantaran kami yang disebut sebagai penjaga gudang hanya dimanfaatkan jaringan teroris tersebut. Kami memang menyimpan bom dan bisa merakit bom tetapi kami bukan pengebom," ujarnya.
Selepas keluar dari penjara pada tahun 2009, Yusuf dan kedua temannya memilih menjalani hidup baru, kembali dan berjanji tidak mau terlibat pada jaringan teroris.
Ia sendiri memilih kembali ke Semarang dan berkeluarga. Sedangkan temanya yang lain, berpencar ke daerah lain.
Kendala paling sulit selepas keluar dari penjara yang ia alami adalah faktor ekonomi karena saat itu tidak ada pekerjaan.
Meski pada akhirnya ia mendapatkan pekerjaan di restoran namun label sebagai teroris masih lekat padanya.
Semisal, ketika ia tak sengaja bertemu anggota Polda Jateng di restoran tersebut, yang berujung seluruh karyawan dibriefing kepolisian.
Namun, karena kesungguhan untuk kembali hidup normal dan berkeluarga, berbagai kendala itu ia hadapi.
Hingga, ia mampu mendirikan restoran sendiri dengan menu utama iga bakar.
Namun, usaha tersebut hanya berjalan tiga tahun dan kini dia banting setir, berusaha dalam bidang rental mobil.
"Di tengah enjoy kami menjalani kehidupan baru, kami mendapatkan kabar dari ketiga teman kami yang dulu bersama di Nusakambangan, ada satu yang kembali terlibat jaringan teroris. Ia ditangkap 2015 lalu," katanya.
Dari hal tersebut, ia mulai berpikir untuk mendirikan Yayasan Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) bersama lima temannya yang lain.
Kelimanya adalah Badawi Rahman, Nur Afifudin, Sri Pujimulyo Siswanto, Hery, dan Wawan.
Baca juga: Batal Lawan Bosnia, Timnas U-19 Indonesia Bakal Tantang Hajduk Split. Berikut Link Live Streamingnya
Baca juga: 3 Sekolah di Banyumas Mulai Membuka Kelas Tatap Muka, Siswa Wajib Pakai Masker dan Face Shield
Baca juga: Segera Manfaatkan, Pemprov Jateng Beri Dispensasi Denda Pajak Kendaraan bagi Perorangan dan Usaha
Baca juga: BREAKING NEWS: Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan Tewas dalam Kecelakaan di Tol Solo-Ngawi
Mereka merintis yayasan itu sampai disahkan notaris Dr Muhammad Hafidh, pada 28 Februari 2019. Hingga akhirnya, 2 Maret 2020, yayasan ini resmi mendapat Surat Keputusan dari Kementrian Hukum dan HAM.
Ruang lingkup kerja Persadani, khusus di wilayah Jawa Tengah, berfokus pada kegiatan sosial dan ekonomi.
Tujuan Persadani, melakukan pendampingan eks napiter agar tidak kembali terlibat ke jaringan terorisme.
Alasan lain, kata Yusuf, sejauh ini, tidak ada lembaga yang melakukan pendampingan yang kompeten pada eks napiter.
Lembaga lain hanya memberi pendampingan namun tidak mendalam, apalagi mereka bukan eks napiter.
"Kalau kami, eks napiter, tentu pendekatannya lebih mendalam karena pernah mengalami hal tersebut," jelasnya.
Dikatakan Yusuf, berdasarkan datanya, terdapat 200 eks napiter di Jawa Tengah.
Saat ini, ada 26 orang yang tergabung dalam yayasan tersebut. Mayoritas dari Kota Semarang dan sisanya dari daerah lain.
Khusus untuk Kota Semarang, terdapat delapan eks napiter lain namun mereka belum mau bergabung Persadani karena alasan tidak ingin masa lalunya diungkit.
Kemudian, di Jawa Tengah, dari ratusan eks napiter, masih ada yang eksklusif bersama kelompoknya.
"Kami akui, memang masih ada yang eksklusif dan mereka terbagi di klaster-klaster tertentu. Meskipun begitu, mayoritas dari mereka mau berkomunikasi dengan kami dan berbaur dengan masyarakat," bebernya.
Program Persadani, lanjut Yusuf, mulai berjalan. Berbagai program pelatihan ekonomi sudah dilakukan, semisal ternak lele dan pembuatan sabun.
Usaha lain juga berjalan, misalnya menjual bubur kacang ijo, kebab, pertanian dan pangan yang sudah berjalan di Kota Solo.
"Kalau di Brebes, eks napiter bekerja di BUMDes bersama warga. Tentu, hal ini kami harapkan berjalan di daerah lain" ujarnya.
"Kami berpesan ke warga, jika ada eks napiter mau bersosialisasi, terimalah mereka dengan tangan terbuka dan sebaliknya, jika mereka tetap ingin eksklusif, laporkan ke kami untuk diberi teguran," katanya. (*)