Berita Features
Warisan Budaya Tak Benda, Begini Sejarah Telur Asin Brebes: Awal dari Warga Tionghoa Bertahan Hidup
Bermula dari sesaji itu, kemudian, masyarakat Tionghoa menjadikan telur asin sebagai bagian dari kekuatan bertahan hidup pada masa transisi.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Telur asin Brebes ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia dalam sidang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada 6-9 Oktober 2020.
Siapa sangka, dalam sejarah telur asin, ada cerita pilu serta perjuangan warga etnis Tionghoa di Brebes.
Sejarawan Pantura, Wijanarto, menuturkan, kehadiran telur asin pertama tidak lepas dari sejarah panjang dan kelam di daerah Brebes dan Tegal.
Dulu, dikisahkannya, telur asin hanya bagian dari ritus ritual sembahyang yang ditujukan pada Dewa Bumi.
Bermula dari sesaji itu, kemudian, masyarakat Tionghoa menjadikan telur asin sebagai bagian dari kekuatan untuk bertahan hidup pada masa transisi pasca-kemerdekaan.
"Selepas revolusi, pada masa transisi, periode 1945- 1949, terjadi dekolonisasi. Secara politik, masyarakat memiliki problem bidang ekonomi. Karut marut ekonomi terjadi akibat konflik minoritas, terutama peranakan Tionghoa," kata Wijanarto ketika dihubungi Tribunbanyumas.com, Selasa (20/10/2020).
Baca juga: Tak Digaji, Kakek di Kota Semarang Ini Ikhlas Bantu Pemakaman Ratusan Korban Covid-19
Baca juga: Sepi Order Karena Pandemi, Pria Asal Madiun Ini Ciptakan Toples Berbentuk Virus Corona
Baca juga: Bupati Cilacap Berurai Air Mata Ceritakan Adiknya, Helmi Bustomi Meninggal Karena Covid-19
Ia membeberkan, konflik politik di tiga daerah (Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal) disebut juga masa 'cocolan' yakni alat semacam bambu runcing untuk membunuh orang.
Peranakan Tionghoa banyak yang menjadi korban, ditangkap dan dibunuh, terutama, di daerah Brebes kota dan Bumiayu (daerah Brebes bagian selatan).
Hingga akhirnya, beberapa dari mereka, melarikan diri dari Brebes kota ke daerah Cirebon dan Indramayu. Sedangkan Tionghoa dari Bumiayu, melarikan diri ke daerah Majenang Cilacap.
Beberapa yang bertahan, harus bersembunyi dan bertahan hidup. Nah, telur asin inilah yang dijadikan pangan untuk mereka bertahan hidup.
"Mereka memiliki keterampilan tradisional untuk mengawetkan makanan lewat cara diasinkan. Dengan diasinkan, makanan jadi bisa bertahan lama," beber pria yang juga Kepala Bidang Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Brebes ini.
Saat situasi mulai kondusif namun perekonomian warga belum pulih betul. Saat itu, telur asin mulai dikomersialkan dari satu warga peranakan Tionghoa, dijual ke warga lain hingga saat ini.
Menurutnya, ada tiga aspek masa itu yang mempengaruhi adanya telur asin. Yakni, filosofi gotong royong, teknologi pangan, dan pengetahuan tradisional masyarakat Tionghoa.
Baca juga: 3 Sekolah di Banyumas Mulai Membuka Kelas Tatap Muka, Siswa Wajib Pakai Masker dan Face Shield
Baca juga: DPRD Banyumas Bantah Tudingan Mengintimidasi Mahasiswa Penolak UU Cipta Kerja
Baca juga: Harga Emas Antam di Pegadaian Pagi Ini, 20 Oktober 2020 Rp 2.037.000 Per 2 Gram
Baca juga: Jangan Lupa Bawa Mantol, Hujan Diperkirakan Mengguyur Purwokerto Siang Hingga Malam Ini
Peranakan Tionghoa selalu mengawetkan bahan makanan bila akan bepergian jauh, sebagai bekal. Bukan hanya telur, jenis makanan lain juga diasinkan agar awet.
"Telur asin ini, merupakan simbol dari resistensi ekonomi luar biasa. Dipakai untuk bertahan hidup. Setelah itu, baru diperkenalkan ke keluarga, perluasan jaringan, perkembangan itu menjadikan telur asin komersial. Sejarah ini hampir persis wingko babat," terangnya.
Wijanarto mengatakan, makanan lain yang merupakan tinggalan pengetahuan tradisional etnis Tionghoa di antaranya tauco di Tegal dan Brebes. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banyumas/foto/bank/originals/pedagang-telur-asin-di-jalan-kolonel-sugiono-depan-pasar-sumberpanggang-kota-tegal.jpg)