Kasus Ginjal Akut Misterius
Kasus Cemaran Obat Picu Gagal Ginjal Akut, BPOM: Pelaku Manfaatkan Celah dari Hulu ke Hilir
BPOM membantah kecolongan dalam pengawasan sehingga terjadi cemaran pada obat sirop yang memicu gagal ginjal akut pada anak.
TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membantah kecolongan dalam pengawasan sehingga terjadi cemaran pada obat sirop yang memicu gagal ginjal akut pada anak.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, kasus ini terjadi karena adanya celah dalam mata rantai distribusi bahan obat yang memungkinkan pelaku kejahatan obat dan makanan mengoplos bahan baku obat tidak sesuai standar.
Hal ini disampaikan penny saat konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022).
Menurut Penny, sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir melibatkan banyak pihak.
"Kami menyatakan bahwa BPOM tidak kecolongan, dikaitkan dengan aspek kejahatan, ini aspek kejahatan obat," kata Penny.
"Sistem pengawasan yang telah dilakukan BPOM sudah sesuai ketentuan," kata Penny lagi.
Baca juga: BPOM Umumkan 126 Obat Sirop yang Aman Dikonsumsi, Ini Daftar Lengkapnya
Baca juga: 2 Perusahaan Jadi Tersangka dan Disegel Polisi dalam Kasus Gagal Ginjal Akut, 1 Orang Buron
Penny menuturkan, celah sistem keamanan dan jaminan mutu ini melibatkan BPOM, perusahaan farmasi, pemasok bahan baku, importir bahan baku obat, dan distributor yang menyuplai bahan baku sampai ke perusahaan farmasi.
Dia mengatakan, sebelum mendistribusikan bahan baku, distributor kimia yang sudah mendapat sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) harus menguji terlebih dahulu keamanan bahan baku.
Perusahaan farmasi juga perlu melakukan pengujian sebelum menggunakannya untuk memproduksi obat.
Saat melakukan impor bahan baku pun, BPOM akan mengawasi dengan menerbitkan Surat Keterangan Impor (SKI).
SKI hanya berlaku untuk satu kali impor atau satu kali pemasukan barang.
Importir harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan SKI pada setiap kali importasi.
"Di sini ada satu gap, gap itu sesuatu kesenjangan yang mana BPOM tidak terlibat dalam pengawasan. Kalau BPOM terlibat dalam pengawasan pemasokan dari bahan pelarut, pastinya ada pengawasan yang dilakukan pemasukan dengan surat keterangan impor," tutur Penny.
"Kalau dilakukan dengan surat keterangan impor itu, pasti sudah ada pengawasan dari BPOM di awal," jelas dia lagi.
Penny menjabarkan, setidaknya ada enam celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan.
Pertama, pemasukan bahan pelarut yang merupakan komoditi non-lartas tidak melalui pengawasan dan tidak memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM.
Kedua, tidak adanya ketentuan batas cemaran EG/DEG dalam produk obat jadi pada Farmakope Indonesia maupun internasional.
Lalu, kondisi maturitas industri farmasi yang beragam yang harus dijadikan dasar untuk penetapan kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas dan ekonomi.
Kemudian, adanya kelangkaan (shortage) bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut standar farmasi (pharmaceutical grade) dengan chemical grade dalam periode tertentu yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Selanjutnya, sistem pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) tidak digunakan oleh tenaga Kesehatan.
Begitu pula, tidak adanya efek jera dari perkara hukum, selama ini, pada kasus kejahatan obat dan makanan karena belum pernah ada bukti yang menyebabkan kematian.
"Jadi, bukan karena BPOM tidak melakukan pengawasan tapi karena aturan yang ada sekarang tidak ada dalam pengawasan BPOM, pada titik awal terjadinya kejahatan ini."
"Kasus ini terjadi karena adanya pemasokan yang tidak memenuhi ketentuan dan kemudian terdistribusikan," jelas Penny.
Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut Tak Bertambah Sejak 15 November, Masih Ada 14 Pasien Dirawat di Rumah Sakit
Baca juga: BPOM Minta Samco Farma dan Ciubros Farma Tarik Obat Sirop Mereka, Diduga Tercemar EG dan DEG
Sebagai informasi, BPOM menjadi sorotan usai kasus gagal ginjal akut akibat keracunan obat sirup merebak pada Agustus 2022.
Kepala BPOM bahkan diminta mundur karena dianggap lalai melakukan pengawasan.
Sejauh ini, BPOM sudah menindak lima industri farmasi dengan mencabut sertifikat CPOB dan izin edar.
Lima perusahaan tersebut, yaitu PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Farma, PT Samco Farma, dan PT Ciubros Farma.
BPOM juga telah mencabut sertifikat CDOB terhadap dua pedagang besar farmasi (PBF), yaitu PT Megasetia Agung Kimia PT Tirta Buana Kemindo karena mendistribusikan bahan baku obat tidak sesuai ketentuan. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "BPOM soal Pengawasan Obat Sirup: Kami Tidak Kecolongan, tetapi Ada Celah dari Hulu ke Hilir".
Baca juga: Berawal dari DM Instagram, Polisi Tangkap Pemuda Banyumas Diduga Jual Obat Keras Tanpa Resep Dokter
Baca juga: Warga Bogor yang Dikabarkan Hidup dari Kematian Menghilang, Polisi Periksa 10 Saksi
Baca juga: Hore! Tol Semarang-Demak Dibuka Dua Arah 12 Jam Setiap Hari, Berlaku untuk Kendaraan Kecil
Baca juga: Warga Kedungbanteng Banyumas Minta Proyek Pipanisasi Air Gunung Slamet Dihentikan sampai Ada Amdal
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banyumas/foto/bank/originals/kepala-bpom-penny-lukito.jpg)