Teror Virus Corona

Ibu Kehilangan Bayinya Diduga Karena Komersialisasi Tes Virus Corona, Begini Tanggapan Asosiasi RS

Seorang ibu kehilangan bayi dalam kandungan setelah tidak mampu membayar swab test virus corona.

Editor: Rival Almanaf

TRIBUNBANYUMAS.COM, MAKASSAR - Seorang ibu kehilangan bayi dalam kandungan setelah tidak mampu membayar swab test virus corona.

Meski dia harus segera mendapat perawatan, namun pihak rumah sakit dikabarkan tidak segera menangani jika dia belum dilakukan swab test.

Sementara biaya swab test ditanggung pribadi.

Peristiwa itu memunculkan dugaan bahwa jui tes Covid-19 baik melalui rapid maupun swab test telah "dikomersialisasikan".

Tingginya biaya tes disebut telah menelan korban di masyarakat.

Warga Satu Kampung Kabur Sebelum Rapid Test Virus Corona Menjangkau Wilayah Mereka

Senar Layangan di Jalan Kembali Tewaskan Pengendara Sepeda Motor

Innalilahi Pengisi Suara Pertama Shizuka di Serial Doraemon Meninggal Dunia

Seorang Pria Perkosa Rekan Kerjanya di Kantor, Nafsu Setelah Lihat Korban Ganti Baju

Ibu itu kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta.

Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut.

Biaya rapid test mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain.

Masa berlaku rapid test hanya tiga hari, dan swab test tujuh hari.

Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang.

Kementerian Kesehatan meminta seluruh masyarakat, terutama kelompok rentan yang positif corona berdasarkan hasil tes dan membutuhkan layanan kesehatan darurat, agar langsung berobat ke rumah sakit rujukan pemerintah Covid-19, agar semua biaya ditanggung oleh pemerintah.

Dengan demikian diharapkan kasus yang terjadi di Makasar tidak terulang kembali.

"Ibu Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung."

"Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal," kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6/2020).

Ceritanya, kata Alita, bermula pada beberapa hari lalu ketika Ervina mengalami kontraksi dan sakit di perutnya.

Ervina yang merupakan peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas memutuskan operasi kehamilan ke sebuah rumah sakit swasta.

"Ia harus segera dioperasi karena punya riwayat diabetes mellitus dan bayinya cukup besar sehingga riskan melalui persalinan normal," kata Alita.

Namun, menurut Alita, Ervina ditolak dengan alasan RS tidak memiliki alat operasi kelahiran lengkap dan alat uji tes virus corona.

Lalu Ervina menuju ke RS swasta lainnya dengan kondisi hamil tua dan kembali ditolak dengan alasan yang hampir sama.

Ervina pun kembali mengunjungi RS swasta lainnya dan menjalani rapid test dengan membayar Rp600.000.

Hasilnya, reaktif atau positif virus corona dan kemudian disarankan menjalani swab test dengan biaya sekitar Rp2,4 juta.

"Namun pasien tidak sanggup bayar tes yang mahal itu, lalu keluarga membawa ke RS lainnya, dan saat dicek bayinya sudah tidak bergerak, sudah meninggal."

"Prediksi dokter, menurut hasil USG, bayi itu kurang atau lebih dari 20 jam sudah tidak bergerak. Sekarang Ervina sudah di RSUP Wahidin Sudirohusodo untuk operasi," katanya.

Alita menjelaskan, ibu hamil termasuk dalam kelompok rentan yang membutuhkan perlakuan khusus sehingga dibutuhkan tindakan cepat saat kondisi darurat.

"Beruntung bagi mereka yang ekonomi baik karena bisa dapat fasilitas terbaik di RS mahal, tapi bagaimana dengan ibu-ibu yang ekonomi kurang, harus bekerja, dan hamil pula? Mereka itu harus diperhatikan, agar jangan sampai ada Ervina, Ervina lainnya," katanya.

Selain itu Alita juga meminta kepada pemerintah khususnya unit layanan kesehatan terkecil yaitu Puskesmas untuk proaktif mendata, mengontrol dan membantu para ibu hamil sehingga tidak lagi terjadi apa yang dialami Ervina yang sedang hamil tua namun harus pergi ke tiga RS berbeda dan ditolak.

Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi 'komersialisasi' tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini.

"Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya."

"Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah," kata Trubus.

Untuk itu, menurut Trubus terdapat dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah 'komersialisasi' tes virus corona ini.

Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes ini, baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.

"Artinya, pemerintah bertanggung jawab dalam pembiayaan Covid, termasuk uji tes virus corona."

"Sehingga masyarakat yang mau tes tidak perlu bayar," katanya.

Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah.

"Karena hingga sekarang tidak ada aturan khusus tentang ini. Pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau."

"Lihat sekarang rapid test itu sekitar Rp 500.000 dan PCR sampai Rp2 juta. Itu sangat mahal."

"Ditambah lagi masa berlaku rapid test hanya tiga hari dan swab test hanya tujuh hari."

"Artinya tes menjadi kewajiban untuk kondisi tertentu," katanya.

Di Jakarta, harga tes virus corona bervariasi. Untuk rapid test berkisar dari Rp 300.000 hingga Rp 500.000, sementara untuk swab test berkisar dari Rp1,5 juta hingga Rp 5 juta, tergantung dari seberapa lengkap pengecekan yang ingin diperiksa.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan "aji untung" dalam biaya tes rapid dan swab.

Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan "mahalnya" tes virus corona disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes.

Terungkap Alasan Tentara India dan China Pilih Gunakan Batu Dalam Bentrok yang Tewaskan 20 Orang

Penularan Virus Corona di Semarang Terus Meningkat, Pedurungan Miliki Kasus Terbanyak

Video Gol Cepat Sentuhan Pertama Asensio Setelah Setahun Cedera Buat Eks Kiper Barcelona Merana

Polisi Menduga Pocong Berisi Bangkai Ayam dan Foto Wanita di Kudus Ada Kaitannya Dengan Ilmu Hitam

Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut.

"Harga list alatnya yang bisa dibeli ada di BNPB, bisa dilihat harganya. Ada cost membeli alat dan perlengkapannya, lalu tenaga kesehatan yang mengambil tes, tenaga lab, lalu biaya dokter."

"Masa tenaga kesehatannya tidak dibayar? Lalu ditambah pemeriksaan rontgen. Jadi price-nya berbeda-beda," kata Susi.

"Kecuali kalau dikasih semua [alatnya], monggo kalau kita dikasih enak banget."

"Tapi masalahnya kan itu tidak mungkin, bisa bangkrut pemerintah. Jadi swasta dan pemerintah saling membantu," katanya.

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menyoal Biaya Tes Virus Corona, Seorang Ibu Kehilangan Anak dalam Kandungan karena Tak Ada Uang ", 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved