Teror Virus Corona
Ini Penyebab Parahnya Kasus Virus Corona di Jateng, Berikut Kata Akademisi Unnes
Data Pemprov Jawa Tengah hingga Sabtu (4/4/2020) ada sekira 120 kasus pasien positif corona (Covid-19).
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: deni setiawan
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Data Pemprov Jawa Tengah hingga Sabtu (4/4/2020) ada sekira 120 kasus pasien positif corona (Covid-19).
Dari jumlah itu, 18 di antaranya meninggal dunia, 91 masih mendapatkan perawatan, dan 11 berhasil sembuh.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono menuturkan, penerapan kebijakan yang tepat harus berdasarkan data atau policy base evidence.
• Janji Bupati Banjarnegara Kepada Perantau, Melindungi Mereka Agar Tidak Diusir Apalagi Dikucilkan
• Sopir Penabrak H Supono Mustajab Tertangkap, Bersembunyi di Banjarnegara, Keluarga Tolak Berdamai
• Ijab Kabul Digelar di Balai Desa, Kondisi Dusun Lockdown di Purbalingga, Pengantin Kenakan Jas Hujan
• Achmad Husein Minta Maaf: Saya Terlambat Edukasi Warga Banyumas, Kondisi Jenazah Pasien Corona
Namun, kata dia, terjadi bias data dan informasi yang ada di masyarakat.
Sehingga penerapan kebijakan yang diharapkan dapat menekan jumlah kasus, malah tidak berjalan optimal.
"Dalam politik kebijakan, saat ini ada yang namanya bias data dan bias informasi di ruang publik."
"Ketika pemerintah berusaha menggunakan bukti dalam kebijakan, sering kali ada yang bolong."
"Nah yang bolong ini yang berbahaya. Ini yang membuat kocar-kacir pemerintah," katanya kepada Tribunbanyumas.com, Minggu (5/4/2020).
Lambatnya pemerintah mengetahui hasil spesimen dan penetapan status pasien yang membuat bias data dan informasi muncul.
Hal itu terjadi karena kurangnya persiapan pemerintah untuk memenuhi sarana dan prasarana di pelayanan kesehatan untuk menghadapi Covid-19 ini.
"Jika pasien ada di kota besar seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, oke lah karena peralatan kesehatannya lengkap."
"Bayangkan kasus yang terjadi di daerah seperti Kabupaten Cilacap, Purworejo, dan sebagainya."
"Mereka tidak terdeteksi secara cepat. Alat dan tenaga kesehatan kurang atau bahkan tidak memadai," terangnya.
Keterlambatan hasil pemeriksaan spesimen pasien, kata dia, membuat potensi penyebaran virus corona semakin meluas.
Apakah dengan rapid test bisa menyelesaikan masalah itu?
• Mulai Hari Wajib Gunakan Masker! Achmad Yurianto: Lindungi Diri Sendiri dan Orang Lain
• PDP Asal Kejobong Juga Meninggal, Bupati Purbalingga: Perempuan Usia 54 Tahun
• Awas, Hoaks Kuota Gratis 100 GB, Operator Informasikan Fakta Ini
• Bukti Masih Banyak Warga Tidak Peduli Virus Corona, Update 5 Maret: Tambah 181 Positif Covid-19
Cahyo menjelaskan, setelah diskusi bersama beberapa pakar kesehatan, rapid test tidak bisa mengukur secara sempurna.
Apalagi harus 100 persen akurat apakah orang tersebut positif atau negatif corona.
Pasalnya, indikator yang digunakan terbatas.
Yakni melalui tes sampel darah.
Alat yang bisa menentukan akurat hanyalah VCR itu pun jumlahnya di Indonesia saat ini terbatas.
Di Jawa Tengah, pemeriksaan sampel swab dengan VCR baru bisa dilakukan di Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga.
"Rapid test pun dilakukan diprioritaskan untuk ODP (orang dalam pemantauan) yang ada di daerah pandemi atau zona merah."
"Bagaimana dengan yang ada di zona hijau, apakah mereka sudah pasti aman? Tidak," ucapnya.
Menurutnya, warga yang berada di zona hijau tersebut memang benar-benar tidak ada warga yang suspect corona atau karena tidak terdeteksi.
Daripada melaporkan hanya 70 persen, tidak 100 persen, itu justru yang berbahaya.
Kondisi itu bisa saja diperparah dengan adanya perantau yang pulang mudik.
Mereka mengetahui daerahnya masih hijau corona.
Padahal sudah ada yang terpapar sehingga berpotensi besar menularkan virus kepada orang di kampung halamannya.
• Perempuan Asal Pati Positif Corona Tanpa Gejala, Safin: Tinggal di Asrama Kantor Swasta di Kudus
• Kemenag: Mohon Perayaan Paskah Tahun Ini di Rumah Saja
• Gelang Pintar Redmi Band Hadir Tiga Bulan Lagi, Harga Kisaran Rp 232 Ribu
• Klub Liga Inggris Terancam Bangkrut Musim Ini, Burnley Bakal Tutup Agustus, Merugi Rp 100 Miliar
"Mudik ini pada dasarnya pergi dari satu tempat ramai secara ekonomi ke tempat relatif sepi."
"Termasuk minimnya fasilitas kesehatan. Itu justru lebih bahaya," ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Unnes ini.
Bias data yang juga membuat pemerintah tidak sanggup membuat peta persebaran ODP, PDP, positif, dan sebagainya.
Padahal data ini penting untuk antisipasi dan sarana edukasi masyarakat.
Di sisi lain, meningkatnya kasus Covid-19 karena pasien tidak jujur ketika dimintai keterangan.
Hal itu yang membuat sejumlah tenaga medis terpapar virus, disamping minimnya alat pelindung diri (APD).
Di Jawa Tengah, dilaporkan tenaga medis di Kabupaten Kudus dan Batang positif Covid-19.
"Dari segi masyarakat, perlu didorong juga kebutuhan transparansi. Ada masalah yakni masyarakat tidak terbuka."
"Mereka datang ke rumah sakit tidak lagsung cerita riwayat perjalanan dan apa yang dialami," terangnya.
Itu yang menyebabkan penyimpangan tata laksana pasien dalam bidang kesehatan."
"Dengan memberikan informasi secara jujur, nantinya tim medis akan mampu mengidentifikasi penyebab pasien tersebut terpapar Covid-19."
"Kemudian, meminta pemerintah untuk melakukan disinfektan ke lokasi yang pernah dikunjunginya, termasuk rumah pasien, dan beberapa hal lain."
"Tujuannya agar penyebaran Covid-19 tidak semakin meluas lagi dan pemerintah dapat mencegahnya," tutupnya. (Mamduh Adi)
• BMKG: Waspada Cuaca Ekstrem Musim Pancaroba di Jateng, Berpotensi Muncul Hujan Es
• Fase Kritis Corona di Indonesia Mulai April, Begini Simpulan Enam Hasil Penelitian Pakar
• Ini Tiga Fenomena Langit Sepanjang April, Jangan Sampai Kelewatan Menyaksikannya
• Sagimin Pulang ke Sumpiuh Banyumas, 18 Hari Jalani Isolasi Akibat Corona, Ini Cerita Bahagianya