Berita Nasional

Mahkamah Konstitusi Tak Punya Dewan Etik, Laporan Pelanggaran Etik Hakim MK Berpotensi Menguap

Hakim MK dilaporkan ke Dewan Etik atas dugaan pelanggaran kode etik atas keputusan mereka dalam perkara tentang usia bakal capres dan cawapres.

Editor: rika irawati
Tribunnews/Jeprima
Suasana sidang permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstiusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). Lima hakim MK dilaporkan ke Dewan Etik MK atas putusan mereka yang dinilai melanggar kode etik hakim MK. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak mengajukan laporan dugaan pelanggaran etik oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan mereka atas perkara Perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang usia bakal capres dan cawapres.

Sayangnya, laporan itu dimungkinkan tak akan diproses lantaran MK tak memiliki Dewan Etik MK.

Laporan-laporan yang masuk bisa menguap begitu saja tanpa dapat menyentuh hakim MK.

Mantan Hakim Konstitusi I Gede Palguna mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), saat ini, Dewan Etik MK sudah tidak ada lagi.

Baca juga: Ketua MK Dinilai Langgar Kode Etik, Ada Kepentingan Keluarga dalam Putusan Perkara Capres Cawapres

Meski demikian, ia menjelaskan, UU MK terbaru itu memerintahkan dibentuknya institusi pengawas etik hakim konstitusi, bernama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang bersifat permanen.

"Dengan dilakukannya perubahan ketiga terhadap UU tentang Mahkamah Konstitusi (kini UU No 7 Tahun 2020) Dewan Etik sudah tidak ada lagi," kata Palguna, dikutip dari Tribunnews.com, Jumat (20/10/2023).

"Hal itu, selain dikarenakan Dewan Etik memang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), juga (dan terutama) karena UU MK yang baru ini memerintahkan Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagaimana tertera dalam Pasal 27A, yang anggota 3 orang: satu dari hakim konstitusi, satu dari Komisi Yudisial, dan satu dari akademisi yang berlatarbelakang hukum," jelasnya.

Namun, Palguna menambahkan, hingga saat ini, MK belum juga membentuk MKMK sebagai institusi pengawas etik para hakim konstitusi itu.

"MKMK (permanen) ini sayangnya belum dibentuk hingga saat ini," ungkap Palguna.

Sehingga, dalam menangani laporan dugaan etik hakim konstitusi, MK berkemungkinan membentuk MKMK Ad Hoc yang bersifat sementara.

"Jika MKMK Ad Hoc belum juga dibentuk, ya berarti, tidak satu pranata (institusi) pun yang berwenang menangani adanya laporan dugaan pelanggaran etik," tutur mantan Ketua MKMK Ad Hoc itu.

Dengan demikian, mantan Hakim Konstitusi itu membenarkan, selama MK tidak membentuk MKMK Ad Hoc maka laporan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim konstitusi berpotensi menjadi angin lalu.

"Kemungkinan dianggap angin lalu? Ya. Betul. Selama MKMK belum dibentuk (entah yang ad hoc atau yang permanen)." ungkapnya.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Syarat Minimal Usia Capres-Cawapres 40 Tahun: Ranah Pembentuk Undang-undang

Sebagai informasi, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) melaporkan lima hakim konstitusi ke Dewan Etik Hakim Konstitusi buntut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat Capres-Cawapres, Kamis (19/10/2023).

Lima hakim yang dilaporkan adalah Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved