Berita Purworejo
Separuh Siswa SMP di Purworejo Ini Jadi Tersangka karena Bullying, Tinggal 2 yang Masih Sekolah
Separuh Siswa SMP di Purworejo Ini Jadi Tersangka karena Bullying, Tinggal 2 yang Masih Sekolah
Penulis: khoirul muzaki | Editor: muslimah
TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOREJO - Kasus perundungan terhadap siswa SMP Muhammadiyah Butuh Purworejo menyita perhatian banyak kalangan.
Masyarakat memasang empati dan iba terhadap korban, CA yang terlihat hanya pasrah saat dipukuli teman-temannya di kelas.
Sebaliknya, mereka mengutuk aksi para siswa yang tega melakukan kekerasan terhadap perempuan.
• RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah Atur Pesangon PHK hingga 9 Bulan Upah
• Diduga Terinfeksi Virus Corona, Pejabat Korea Utara Ini Langsung Ditembak Mati
• Kisah di Balik Penemuan Korban Pembunuhan di Sigaluh: Saat Tim Putus Asa, Terdengar Suara Memanggil
• Kisah Bule Belanda Jualan Kebab di Cilacap, Ini Jawabnya Ditanya Kenapa Pilih Tinggal di Indonesia
Siapapun tentu sepakat, tindakan anak-anak itu tidak dibenarkan.
Terlebih kekerasan itu dilakukan terhadap perempuan yang lemah.
Polisi pun segera menetapkan tersangka terhadap tiga siswa pelaku perundungan.
Di lain sisi, proses pidana terhadap anak-anak di bawah umur ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Ahmad, Kepala SMP Muhammadiyah Butuh.
Wajar, guru mana yang tak iba melihat anak didiknya dipenjara.
Sementara ia maupun guru lain di sekolah itu tengah berusaha keras mendidik para siswa menjadi lebih baik.
Meski ia tetap mengùtuk perbuatan anak didiknya yang kelewatan.
"Kami berharapnya kan selesai kekeluargaan, pendidikan mereka harus tetap berlangsung," katanya
Aksi perundungan terhadap CA oleh teman-temannya memang keterlaluan.
Tetapi ini tidak lepas dari faktor kenakalan siswa.
Singkatnya, anak-anak yang kini berstatus tersangka ini memang dikenal bandel atau nakal.
Fenomena anak-anak bandel tentu juga terjadi di hampir setiap sekolah.
Seperti halnya SMP Muhammadiyah Butuh.
Seperti nasib sekolah swasta pinggiran pada umumnya, SMP Butuh bisa dibilang kekurangan siswa.
Jumlah total siswa di sekolah itu hanya 21 orang, dari kelas 7 hingga kelas 9.
Kelas 8 yang merupakan tempat belajar korban CA dan tersangka bahkan hanya dihuni 6 siswa.
CA adalah satu-satunya siswi perempuan di kelas itu. Mau tidak mau, ia setiap hari harus bergaul dengan teman-teman di kelas yang seluruhnya laki-laki.
"Siswanya 6, 5 laki-laki, 1 cewek (CA),"katanya
Tetapi kini, kelas itu semakin sepi.
Bagaimana tidak, tiga dari lima siswa di kelas itu dipastikan absen karena harus menghadapi proses hukum di Polres.
Adapun CA, satu-satunya siswi di kelas itu sudah enggan bersekolah semenjak mengalami insiden kekerasan hingga viral di media sosial.
Anak itu bahkan masih dilanda trauma dan sedih di rumah akibat perlakuan jahat teman-temannya.
Ahmad mengatakan, kasus ini tidak akan menghentikan aktivitas pendidikan di sekolahnya.
Proses belajar mengajar tetap berjalan normal.
Bagi Ahmad, sedikit atau banyak jumlah siswa hanyalah soal kuantitas.
Terpenting, sebagai pendidik, pihaknya berkomitmen untuk terus berusaha meningkatkan kualitas siswa.
Termasuk mendidik anak menjadi lebih baik dengan berbagai upaya.
"Kami tidak kurang-kurangnya, kami bikin gerbang pagar biar siswa tidak liar, ada salat berjamaah. Karena kita background nya sekolah dakwah," katanya. (*)
• Kisah Bule Belanda Jualan Kebab di Cilacap, Ini Jawabnya Ditanya Kenapa Pilih Tinggal di Indonesia
• Kisah di Balik Penemuan Korban Pembunuhan di Sigaluh: Saat Tim Putus Asa, Terdengar Suara Memanggil
• Oknum Guru di Banjarnegara Setubuhi Muridnya di Toilet hingga di Pinggir Jalan, Ini Pengakuannya
• Detik-detik Ardian Saksikan Motornya Tertimpa Truk di Hanoman Semarang: Untung Saya Selamat