Opini Mahasiswa
Manajemen Kinerja di Persimpangan: Dari Obsesi Angka Menuju Penguatan SDM yang Bermakna
Saat ini, pengukuran kinerja dilakukan melalui e-SKP dan sistem e-Kinerja BKN, yang memungkinkan penilaian capaian individu secara digital
Ringkasan Berita:
- Pengukuran kinerja saat ini dilakukan melalui e-SKP dan sistem e-Kinerja BKN, yang memungkinkan penilaian capaian individu secara digital dan terintegrasi lintas instansi.
- Secara ideal, sistem-sistem ini dirancang agar setiap ASN dan instansinya berkontribusi nyata terhadap pencapaian tujuan organisasi serta hasil pembangunan nasional.
- Namun realita di lapangan, praktik manajemen kinerja sering kali masih terjebak pada obsesi angka.
TRIBUNBANYUMAS.COM - Dalam birokrasi Indonesia, manajemen kinerja telah menjadi jantung reformasi aparatur.
Ia menjadi instrumen penting untuk mendorong akuntabilitas dan profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Saat ini, pengukuran kinerja dilakukan melalui e-SKP dan sistem e-Kinerja BKN, yang memungkinkan penilaian capaian individu secara digital dan terintegrasi lintas instansi.
Sementara itu, penilaian kinerja instansi pemerintah dilakukan melalui Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang menjadi tolok ukur akuntabilitas kinerja organisasi secara menyeluruh.
Secara ideal, sistem-sistem ini dirancang agar setiap ASN dan instansinya berkontribusi nyata terhadap pencapaian tujuan organisasi serta hasil pembangunan nasional.
Namun realita di lapangan, praktik manajemen kinerja sering kali masih terjebak pada obsesi angka. ASN dituntut mengejar capaian indikator kuantitatif: berapa program yang terlaksana, berapa laporan disusun, berapa persen target tercapai. Kinerja menjadi sekadar deretan tabel dan persentase.
Akibatnya, esensi manajemen kinerja sebagai proses pembelajaran dan pengembangan manusia sering terpinggirkan.
ASN sibuk memenuhi target administratif, bukan memperdalam makna dari pekerjaannya.
Menurut dua pakar manajemen sumber daya manusia, Herman Aguinis, profesor di George Washington University yang dikenal luas atas penelitiannya tentang performance management dan Burgi-Tian, peneliti yang kerap berkolaborasi dengannya dalam kajian efektivitas sistem manajemen kinerja (2021), manajemen kinerja bukanlah sistem penilaian semata, melainkan proses berkelanjutan untuk menumbuhkan kompetensi, komitmen, dan kolaborasi pegawai agar berkontribusi optimal bagi organisasi.
Baca juga: Manajemen Kinerja di Bawah Bayang-bayang Krisis Integritas
Ketika kinerja hanya dilihat dari angka, nilai kemanusiaan dan inovasi dalam bekerja menjadi kabur.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut performance paradox: secara administratif, kinerja terlihat baik, tetapi belum tentu berdampak signifikan terhadap kualitas pelayanan publik. Tak sedikit lembaga pemerintahan yang memiliki laporan kinerja “sempurna”, sementara masyarakat masih menghadapi pelayanan yang lamban, tidak responsif, atau minim empati.
Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara kinerja administratif dan kinerja substantif.
Sistem penilaian yang terlalu birokratis membuat pegawai lebih berorientasi pada compliance (kepatuhan) daripada commitment (komitmen).
Disisi lain, budaya kerja yang menekankan formalitas lebih tinggi daripada refleksi membuat ASN sulit berkembang secara alami.
Dalam berbagai konteks pelayanan publik di daerah, fenomena ini tampak nyata.
| Video Longsor dan Banjir Landa 14 Kecamatan di Banyumas akibat Hujan Deras |
|
|---|
| Prabowo Bertemu PM Albanese Bahas Penguatan Kemitraan Strategis Indonesia–Australia |
|
|---|
| 90 Kafe dan Ruko di Wonosobo Belum Kantongi PBG, Pemkab Layangkan Teguran ke Pemilik |
|
|---|
| Video Mobil Lansia Asal Bumiayu Nyaris Terjun ke Pemukiman di Purwokerto, Diduga Mengantuk |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banyumas/foto/bank/originals/rhomadani-unsoed-oke.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.