Banyumas

Apakah Tunjangan Perumahan DPRD Banyumas Sudah Sesuai dengan Kepatutan, Kewajaran, dan Rasionalitas?

Aktivis sebut tunjangan Rp42 juta tak wajar, sementara harga sewa rumah termahal di Banyumas hanya Rp120 juta setahun.

Permata Putra Sejati
GAJI DPRD BANYUMAS - Suasana ruang rapat di Gedung dewan DPRD Banyumas, Juli 2025. Salah satu anggota DPRD Banyumas yang tidak ingin disebutkan namanya, atau sebut saja X, mengatakan dengan gaji dan tunjangan yang diterima saat ini tidaklah cukup. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURWOKERTO - Pertanyaan besarnya adalah apakah tunjangan perumahan itu sudah sesuai dengan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat yang berlaku, dan standar luas bangunan dan lahan rumah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Begitulah pernyataan yang dilontarkan oleh Pakar Hukum Ketatanegaraan dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof. Dr. Riris Ardhanariswari, S.H., M.H.

Pertanyaan tersebut menjadi sorotan di tengah polemik yang berkembang terkait besarnya tunjangan perumahan untuk pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banyumas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) Banyumas Nomor 9 Tahun 2024.

Baca juga: BEDA JAUH HARGA PASAR, Tunjangan Perumahan DPRD Banyumas Rp 42 Juta Disorot, Kini Kejari Beraksi

Perbup yang ditetapkan saat itu oleh Penjabat (Pj) Bupati Banyumas Hanung Cahyo Saputro pada 16 April 2024 merupakan perubahan kelima atas Perbup Nomor 66 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. 

Aturan ini telah diundangkan dan sah berlaku sejak Januari 2024, menjadikannya dasar hukum resmi yang mengatur keuangan legislatif daerah.

Tunjangan Fantastis hingga Rp42 Juta per Bulan

Salah satu poin yang paling disorot adalah besaran tunjangan perumahan yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) Perbup No. 9 Tahun 2024, yaitu:

  • Ketua DPRD: Rp42.625.000,00
  • Wakil Ketua DPRD: Rp34.650.000,00
  • Anggota DPRD: Rp23.650.000,00

Tunjangan tersebut diberikan setiap bulan, sebagaimana ditegaskan dalam ayat (2) pasal yang sama.

"Kebijakan ini memantik reaksi publik, mengingat tunjangan ini dibayarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)," katanya kepada Tribunbanyumas.com.

Sementara masyarakat sedang menghadapi tekanan ekonomi akibat ketimpangan sosial.

Prof. Riris memberikan penjelasan terkait landasan Yuridis: Dari UU ke PP hingga Perda. 

Secara hukum, keberadaan tunjangan perumahan ini berdasarkan kerangka hukum yang sah, dimulai dari:

Pasal 178 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2015), yang memberikan hak keuangan dan administratif kepada pimpinan dan anggota DPRD.

Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif DPRD, yang menyatakan bahwa jika pemerintah daerah belum mampu menyediakan rumah negara dan kendaraan dinas, maka diberikan tunjangan perumahan dan transportasi.

Pasal 17 PP 18/2017 memberikan rambu-rambu yang jelas besaran tunjangan harus memperhatikan: 

"Asas kepatutan, Asas kewajaran, Asas rasionalitas, Standar harga setempat, Standar luas rumah negara," jelasnya. 

Hal ini kemudian diakomodasi oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2017, yang mengatur secara lebih rinci hak keuangan dan administratif pimpinan serta anggota DPRD.

Dalam Pasal 25 Perda tersebut ditegaskan, "Dalam hal Pemerintah Daerah belum dapat menyediakan rumah negara dan kendaraan dinas jabatan bagi Pimpinan DPRD, kepada yang bersangkutan diberikan tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi."

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah 'Sampai kapan Pemda belum mampu menyediakan rumah negara? 

Apakah artinya tunjangan perumahan akan terus ada tanpa batas waktu?

Padahal, dalam PP 18/2017 maupun Perda 6/2017, tunjangan perumahan hanyalah solusi sementara jika belum tersedia rumah negara.

Dengan kata lain, tunjangan seharusnya tidak bersifat permanen, tetapi menyesuaikan kemampuan fiskal dan kebijakan pemerintah daerah.

Prof. Riris mempertanyakan terkait aspek kepatutan dan rasionalitas yang jadi sorotan. 

Prof. Riris menyoroti aspek-aspek penting yang harus dijadikan pijakan saat menetapkan besaran tunjangan, yaitu asas:

Kepatutan: berarti sesuatu yang baik, layak, pantas, atau senonoh, sesuai dengan batas norma yang berlaku di masyarakat.

Kewajaran: berarti keadaan yang biasa, sebagaimana adanya, sesuai dengan kondisi nyata.

Rasionalitas: mengacu pada pertimbangan logis dan sehat, berdasarkan kemampuan daerah.

"Artinya menetapkan tunjangan perumahan harus berdasarkan pertimbangan yang rasional, berapa kemampuan daerah yang ada," ujar Prof. Riris. 

Rasionalitas menurut KBBI yang asal katanya rasional berarti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, atau cocok dengan akal. 

Dengan demikian, rasionalitas merujuk pada sifat atau kemampuan berpikir secara logis, sehat, dan sesuai dengan nalar atau akal sehat. 

Artinya menetapkan tunjangan perumahan harus berdasarkan pertimbangan yang rasional, berapa kemampuan daerah yang ada. 

Selanjutnya standar harga setempat yang berlaku, dan standar luas bangunan dan lahan rumah negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

"Apakah penetapan tunjangan perumahan ini sesuai dengan standar harga yang ada di Kabupaten Banyumas?," katanya. 

Ia mempertanyakan, "Apakah penetapan tunjangan perumahan ini sesuai dengan standar harga yang ada di Kabupaten Banyumas?"

Berikut ini riwayat kenaikan tunjangan DPRD

Penetapan tunjangan dalam Perbup 9/2024 bukan kali pertama mengalami perubahan. 

Sebelumnya, terjadi kenaikan melalui:

  • Perbup No. 68 Tahun 2019. 
  • Perbup No. 96 Tahun 2020 yang ditetapkan 30 Desember 2020. 

Prof. Riris menyebut dalam setiap perubahan tersebut, konsiderannya tetap menyebut alasan umum seperti: 

"dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang lembaga, serta meningkatkan kualitas, produktivitas, kinerja DPRD sehingga akan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di daerah". 

Namun kutipan ini bersifat normatif dan tidak menjawab secara substansi mengapa kenaikan tunjangan harus terjadi, apalagi di tengah tantangan ekonomi daerah dan masyarakat.

Penghasilan DPRD: Komponen dan Pajak Ditanggung APBD

Selain tunjangan perumahan, penghasilan DPRD terdiri atas: Uang representasi, Tunjangan keluarga, Tunjangan beras, Uang paket, Tunjangan jabatan, Tunjangan alat kelengkapan, Tunjangan alat kelengkapan lain, Tunjangan komunikasi intensif, Tunjangan reses. 

Semua penghasilan tersebut pajaknya ditanggung oleh APBD, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perda No. 6 Tahun 2017 dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Pertanyaannya kemudian akankah ada revisi atau evaluasi?

Dalam ketentuan penutup Pasal 49 Perda 6/2017, dinyatakan Peraturan Bupati sebagai pelaksanaan dari Perda harus ditetapkan paling lambat satu bulan sejak Perda diundangkan. 

Inilah yang melahirkan Perbup 66 Tahun 2017 dan akhirnya Perbup No. 9 Tahun 2024 sebagai revisi kelima.

"Namun, dengan adanya sorotan masyarakat terhadap angka-angka tunjangan yang dinilai tidak masuk akal, desakan untuk evaluasi dan transparansi dalam penetapan nilai tunjangan semakin menguat," katanya. 

Kemudian menjadi catatan adalah apa yang menjadi dasar kenaikan dalam Perbup Kabupaten Banyumas 96 Tahun 2020 dalam konsideran sama dengan peraturan bupati yang lain. 

Merespon topik tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto, Gloria Sinuhaji ikut menanggapi polemik masyarakat terkait besaran tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banyumas

Ia menyatakan pihaknya akan melakukan telaah terhadap regulasi yang menjadi dasar pemberian tunjangan tersebut.

"Terkait tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banyumas yang saat ini banyak disorot masyarakat karena dianggap terlalu besar, kami akan mempelajarinya terlebih dahulu," ujar Gloria.

Ia menambahkan, kajian akan difokuskan pada kesesuaian Peraturan Bupati tentang Hak Keuangan DPRD dengan regulasi yang lebih tinggi. 

"Kami akan memastikan apakah Peraturan Bupati tersebut telah berpedoman pada Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2018, serta ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah," tegasnya. 

Selain itu, Kejari juga akan menelusuri apakah pengelolaan anggaran tersebut telah dilakukan secara tertib dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu aktivis perempuan dan pemerhati kebijakan publik, Aan Rohaeni SH menilai, penghasilan wakil rakyat terlalu timpang dibandingkan dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini yang mengalami kesulitan.

"Wakil rakyat seharusnya tidak memiliki penghasilan yang terlalu jomplang dengan rakyat. 

Pendapatan Ketua DPRD saja bisa mencapai Rp72 juta per bulan, belum termasuk tunjangan reses, alat kelengkapan dewan, dan kunjungan kerja," ujar Aan. 

Aan menyoroti tunjangan perumahan sebagai komponen paling mencolok. 

Berdasarkan Peraturan Daerah Pasal 26 ayat (1), besaran tunjangan perumahan seharusnya mempertimbangkan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas, standar harga setempat, serta luas rumah negara sesuai ketentuan. 

Namun, realisasi di Banyumas dinilai jauh dari prinsip tersebut.

"Kalau tunjangan perumahan mencapai Rp42 juta per bulan, itu sangat tidak wajar. Di Banyumas, kontrakan paling mahal di kawasan Taman Anggrek saja hanya sekitar Rp120 juta per tahun. Jadi tidak masuk akal jika tunjangan perumahan anggota dewan sebesar itu," tutupnya. (jti) 

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved