Berita Banyumas

Ortu Murid Gugat Iuran Wajib Rp450 Ribu Pakai Ayat Hukum, Jawaban Dindik Banyumas Tak Nyambung

Wali murid SMPN 3 Sumbang protes detail soal iuran Rp450 ribu dengan dasar hukum, namun jawaban Dinas Pendidikan malah membahas penjualan LKS.

Penulis: daniel a | Editor: Daniel Ari Purnomo
DOKUMENTASI PRIBADI WARGA
PROTES IURAN SEKOLAH: Seorang wali murid SMPN 3 Sumbang mempertanyakan iuran yang disebutnya wajib untuk membangun WC hingga membeli tanah di sekolah negeri. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, BANYUMAS - Sebuah aduan dari wali murid SMP Negeri 3 Sumbang, Kabupaten Banyumas, menunjukkan tingkat kepedulian dan pemahaman hukum yang tinggi dari masyarakat.

Ia melayangkan "gugatan" argumen yang sangat rinci mengenai legalitas iuran pengembangan sekolah sebesar Rp450.000 dengan mengutip sejumlah pasal dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).

Namun, aduan kritis yang masuk pada Senin (16/6/2025) ini justru mendapat jawaban dari Dinas Pendidikan (Dindik) Kabupaten Banyumas yang dinilai sama sekali tidak nyambung dengan inti permasalahan.

Baca juga: Ortu Murid SMPN 3 Sumbang Banyumas Protes Iuran Wajib Bangun WC & Beli Tanah, "Sekolah Gak Sanggup?"

Gugatan Warga

Wali murid tersebut secara tajam menganalisis iuran sebesar Rp450.000 yang disebut sebagai "sumbangan sukarela".

Ia berpendapat, sumbangan yang ditetapkan nominalnya tidak bisa lagi disebut sukarela dan berpotensi menjadi pungutan liar (pungli).

Ia mengutip sejumlah pasal dari Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Di antaranya Pasal 12 yang melarang komite sekolah melakukan pungutan, dan Pasal 1 yang membedakan secara jelas antara "bantuan" (dari pihak luar), "sumbangan" (sukarela dari orang tua), dan "pungutan" (bersifat wajib).

"Yang jadi pertanyaan adalah iuran 450.000 yang untuk pengembangan sekolah ini masuknya adalah Bantuan Pendidikan, Sumbangan, atau justru pungutan berkedok kontribusi," tanyanya dengan kritis.

Berikut isi protes lengkap pengadu: 

"Sumbangan sukarela tapi terdapat nominal nya 450.000 di SMP NEGERI 3 SUMBANG , apakah ini sudah sesuai dengan permedikbud nomor No.44 tahun 2012 dan Permendikbud No.75 tahun 2016 , dimana dalam peraturan tersebut komite sekolah di larang melakukan pungutan.

Bisa kita lihat dan kita baca bersama sama Berdasarkan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia nomor 75 tahun 2016 tentang Komite sekolah Pada pasal 3 nomor 3 mengeluarkan bantuan pendidikan yang selanjutnya di sebut dengan bantuan adalah pemberian uang / barang / jasa oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan DI LUAR PESERTA DIDIK ATAU WALINYA ,

Kemudian pada pasal 12 huruf b berbunyi komite sekolah baik perseorangan maupun kolektif di larang Melakukan pungutan dari peserta didik , orang tua / walinya Kemudian yang menjadi pertanyaan iuran yang dilakukan komite sekolah untuk pengembangan sekolah di SMP NEGERI 3 SUMBANG itu masuk nya sumbangan , bantuan pendidikan , atau Justru pungutan berkedok sumbangan .

Jika disebut bantuan pendidikan tetapi pada permendikbud nomor 75 tahun 2016 pada pasal 1 nomor 3 secara jelas menjelaskan pengertian bantuan pendidikan dimana di luar peserta didik Atau walinya . Jika di sebut sumbangan pada permendikbud nomor 75 tahun 2016 pasal 1 nomor 5 secara jelas menyampaikan pemberian berupa uang, barang atau jasa oleh peserta didik atau walinya secara sukarela , tetapi kenapa di bukti screensot yang saya kirim terpampang jelas kata kata " yang sudah menyumbangkan buat pengembangan sekolah " apa kata kata tersebut mencerminkan sumbang secara sukarela yang sesuai dengan permedikbud no 75 tahun 2016 pasal 1 nomor 5 .

Yang jadi pertanyaan adalah iuran 450.000 yang untuk pengembangan sekolah ini masuk nya adalah Bantuan Pendidikan , Sumbangan , atau justru pungutan berkedok kontribusi , seharus nya jika memang secara sukarela seharus nya tidak menentukan jumlah uang sebesar 450.000

Yang jadi permasalahan adalah Pengumpulan Dana Untuk untuk pengembangan sekolah di SMP NEGERI SUMBANG apakah sudah sesuai dengan permendikbud nomor 75 tahun 2016 , jika sudah sesuai maka beri saya alasan mengapa sumbangan 450.000 tersebut sudah sesuai dengan permendikbud nomor 75 tahun 2016 ."

Jawaban Dinas Pendidikan

Alih-alih menjawab gugatan argumentatif mengenai iuran Rp450.000 tersebut, Dindik Banyumas justru memberikan jawaban yang fokus pada masalah lain, yaitu penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS).

"Menanggapi lapak aduan tentang penjualan LKS yang bersifat wajib di SMP Negeri 3 Sumbang tidak benar," begitu bunyi kalimat pembuka dari jawaban Dindik.

Selanjutnya, jawaban tersebut menjelaskan panjang lebar mengenai status badan hukum Koperasi Amanah di sekolah itu, penjualan LKS Bahasa Jawa dan PKN, serta klarifikasi dari guru bernama Bu Dewi yang disebut tidak pernah memaksa siswa membeli LKS.

Seluruh jawaban ini sama sekali tidak menyinggung masalah iuran Rp450.000 yang menjadi inti aduan.

Berikut jawaban versi lengkapnya:

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, menanggapi lapak aduan tentang penjualan LKS yang bersifat wajib di SMP Negeri 3 Sumbang tidak benar, saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Koperasi amanah merupakan koperasi serba usaha berbadan hukum nomor AHU-0000818.AH.01.29.tahun 2023 sehingga menyediakan barang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

2. Diantara yang disediakan adalah LKS bahasa Jawa dan PKN dijual secara bebas kepada konsumen yang membutuhkan tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun.

3. Dalam melakukan penjualan sekolah sama sekali tidak ikut campur di dalamnya karena itu di luar kewenangan sekolah dan bersifat independen.

4. Sekolah sudah mengadakan semua buku materi yang dibutuhkan sesuai jumlah siswa termasuk buku bahasa jawa

5. Bu Dewi selaku guru pengampu mapel bahasa Jawa mengatakan bahwa materi bersumber dari buku materi pokok di perpustakaan dan LKS

6. Beliau merasa tidak pernah mengharuskan untuk membeli LKS dan sudah dilakukan pembinaan oleh kepala sekolah Demikian, maturnuwun."

Akibat respons yang tidak sesuai konteks ini, pertanyaan mendasar dari wali murid tersebut mengenai keabsahan iuran Rp450.000 di SMPN 3 Sumbang menjadi menggantung tanpa jawaban.

Warga yang sudah berusaha menyampaikan aspirasi secara detail dan berbasis aturan justru dihadapkan pada respons yang seolah tidak membaca atau tidak memahami keluhan mereka.

Kasus ini menyoroti adanya potensi kegagalan serius dalam sistem penanganan aduan publik, di mana keluhan spesifik dari warga tidak ditanggapi dengan semestinya.

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved