Polemik UU Cipta Kerja

Resmi Berlaku, Berikut Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang Dinilai Bermasalah dan Kontroversial

UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 186 pasal. Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Editor: rika irawati
TRIBUN BANYUMAS/PERMATA PUTRA SEJATI
Ilustrasi. Aliansi Serikat Masyarakat Bergeraklah Banyumas (Semarak) menggelar aksi demo menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Kabupaten Banyumas, Kamis (16/7/2020). 

TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Joko Widodo, Senin (2/11/2020), dan tercatat sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020. Ada sejumlah pasal dalam undang-undang ini yang dinilai merugikan buruh.

UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 186 pasal. Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Kompas.com mencatat beberapa pasal yang dinilai bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.

Dalam UU Cipta Kerja, hal ini diatur dalam Pasal 81 yang mengubah sejumlah pasal di UU Ketenagakerjaan, di antaranya sebagai berikut:

Pasal 59

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Baca juga: Resmi Berlaku, Presiden Teken UU Cipta Kerja

Baca juga: UU Cipta Kerja Diteken Presiden, Buruh Langsung Ajukan Uji Materi ke MK

Baca juga: Buruh Bakal Kawal Lewat Aksi Setiap Sidang Uji Materi UU Cipta Kerja di MK

Baca juga: Buruh Ancam Demo Lagi 9-10 November di 24 Provinsi, Tuntut Kenaikan UMP dan Tolak UU Cipta Kerja

Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.

Sementara, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

Pasal 79

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan.

Pasal 79 ayat (2) huruf (b) UU Cipta Kerja mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 UU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Baca juga: Ini Hak-hak Karyawan Kontrak yang Dilindungi UU Cipta Kerja Menurut Menaker

Baca juga: Jumlah Halaman Draf UU Cipta Kerja Berubah Lagi, Diklaim Ada Perubahan Font Tapi Satu Pasal Hilang

Baca juga: Catatan 1 Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf: Gagap Hadapi Covid-19, Tak Aspiratif di UU Cipta Kerja

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 88

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Selain itu, disisipkan 5 pasal, yaitu Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E yang mengatur soal penetapan upah.

Pasal UU Ketenagakerjaan yang Dihapus

UU Cipta Kerja juga menghapus sejumlah pasal yang sebelumnya tertuang di UU Ketenagakerjaan.

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.

Penghapusan ini tercantum dalam Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan.

Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca juga: Dituntut Jaksa Hukuman 3 Tahun Penjara Atas Kasus IDI Kacung WHO, Jerinx Emosi

Baca juga: Hore, 745.415 Guru dan Dosen Non-PNS di Bawah Kemenag Juga Dapat Subsidi Gaji

Baca juga: UMK 2021 Blora Direncanakan Naik Rp 60 Ribu

Baca juga: Truk Pengangkut Genting Tabrak Median Jalan di Bergas Kabupaten Semarang, Kepala Truk Ringsek

Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja ( PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 169 UU Ketenagakerjaan.

Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "UU Cipta Kerja Berlaku, Ini Pasal-pasal Kontroversial di Klaster Ketenagakerjaan".

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved