Berita Purbalingga

Perjuangan Sulemi, Eks Cakrabirawa asal Purbalingga Lepas dari Stigma G30S. Berakhir Disegani Warga

Sulemi, mantan anggota Cakrabirawa asal Purbalingga jalani kehidupan sulit untuk bisa lepas dari stigma tragedi G30S hingga berakhir disegani warga.

Penulis: Farah Anis Rahmawati | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS/FARAH ANIS RAHMAWATI
KENANGAN LEWAT FOTO — Sri Pangestuningsih, istri almarhum Sulemi menujukan foto bersama suaminya, Selasa (30/9/2025). Sulemi dikenal sebagai eks Cakrabirawa asal Purbalingga. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURBALINGGA — Peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S menjadi peristiwa kelam yang mewarnai kisah sejarah bangsa Indonesia.

Peristiwa tersebut erat kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Pasukan Cakrabirawa atau satuan khusus yang dibentuk untuk melindungi Presiden Soekarno dan keluarganya. 

Namun, nama Cakrabirawa tercoreng seusai peristiwa penculikan para jenderal pahlawan revolusi. 

Mereka dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut dan harus menjalani hukuman. 

Padahal, mulanya, pasukan tersebut hanya diperintah untuk menjemput Jendral AH Nasution. 

Hanya saja, dalam penjemputan tersebut, terdapat tragedi tertembaknya Ade Irma Nasution, putri sang jenderal.

Pascakejadian itu, anggota pasukan elit tersebut dijebloskan ke dalam penjara.

Satu di antaranya, Sulemi, anggota Cakrabirawa asal Purbalingga.

Dia harus menjalani getirnya kehidupan di balik jeruji besi.

Baca juga: Jejak Tragedi G30S PKI di Kota Semarang: Kuburan Massal Berisi 24 Jenazah, Hanya 8 yang Dikenal

Siksa pedih yang dia rasakan di penjara berakhir pada tahun 1980. 

Dia dibebaskan dan kembali menghirup udara segar.

Sulemi kemudian pulang ke kampung halaman di Purbalingga dan menjalani kehidupan biasa.

Hingga akhirnya, dia mengembuskan napas terakhir pada 2023, setelah berjuang melawan sakit. 

Kehidupan Sulemi selepas menjadi rakyat biasa diungkap sang istri, Sri Pangestuningsih.

Sri Pangestuningsih kini menghabiskan masa tuanya sambil berjualan di warung depan rumah.

Tiga buah hatinya sudah menikah dan sebagain besar hidup di perantauan. 

Dijumpai di rumahnya, Sri Pangestuningsih menceritakan pertemuannya dengan Sulemi hingga menjalin rumah tangga.

Mereka bertemu di tahun 1980, atau dua bulan sejak Sulemi dibebaskan dari penjara. 

Saat itu, Sri kenal Sulemi justru dari mantan kekasinya. 

Mereka akhirnya saling mengenal dan saling menyukai satu sama lain. 

Kondisi Sri, saat itu, merupakan seorang janda. 

Ia bercerai dari suami pertamanya yang merupakan anggota Kopasus di Magelang, dan membawa dua orang anak dari pernikahan tersebut. 

"Saya sudah tahu kalau dia katanya anggota Cakrabirawa, mantan G30S/PKI. Tapi saya biasa saja, enggak takut atau gimana."

"Cuma, memang, waktu itu sempat diperingatkan kalau dekat sama mantan G30S itu hidupnya bakal susah dan anaknya nanti tidak akan dapat pekerjaan, bahkan sampai lima turunan," jelasnya.

Terhalang Restu

Pandangan negatif itu tak menyurutkan keinginannya melanjutkan hubungan dengan Sulemi ke jenjang serius.

Sri memutuskan menikah dengan Sulemi.

Meskipun saat itu Sulemi tidak bekerja dan masih banyak stigma negatif, dia tetap bertekad menerima. 

Tentu saja, tak mudah bagi dia mendapat restu.

Keluarga Sri keras menolak saat dia meminta izin menjalani kehidupan berumah tangga dengan Sulemi.

Sri bahkan sempat diasingkan ke rumah adiknya di Surabaya. 

Pengasingan tersebut rupanya tidak mengubah perasaan Sri kepada Sulemi. 

Ia tetap berhubungan baik dengan Sulemi meski melalui surat. 

"Tapi meski saya diasingkan, kami sering berkomunikasi melalui surat," katanya. 

Baca juga: Kesaksian Sanjoto Prajurit Pemburu DN Aidit di Semarang, Kini Tempati Rumah Eks Markas PKI

Lambat laun, hubungan mereka direstui ayah Sri. 

Hati ayah Sri luluh setelah melihat sosok Sulemi yang rajin, baik dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, juga dalam berkegiatan sosial di sekitar tempat tinggalnya. 

"Kata bapak saya, Sulemi ini orangnya rajin, suka bantu-bantu warga di sini bersih-bersih."

"Bapak saya pikirnya 'oh mungkin dia sosok yang bakal sayang istri'. Akhirnya, hubungan kami direstui," ujarnya. 

Sri dan Sulemi akhirnya resmi menikah pada bulan April tahun 1981. 

Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki di tahun 1982.

Kesulitan Cari Kerja

Seperti yang sudah dibayangkan, biduk rumah tangga yang dijalani keduanya tak terlalu mulus.

Sulemi kesulitan mencari kerja lantaran label eks Cakrabirawa yang melekat.

Hingga akhirnya, Sulemi merantau dan menjadi buruh kasar di Tanjung Priok.

"Dulu, sekitar tahun 1983, bapak sempat kerja di Tanjung Priok, kurang lebih ada 1,5 tahunan."

"Tapi akhirnya pulang lagi ke sini setalah ada peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984," tuturnya. 

Setelah kembali ke Purbalingga, Sulemi tak langsung mendapatkan pekerjaan. 

Menurutnya, sang suami masih kesusahan mendapatkan kerja. 

Namun, karena Sri sudah terbiasa berjualan sejak ia masih kecil, dia memutuskan berdagang. 

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka saling membantu. 

Saat Sri berjualan di pasar, Sulemi membantu pekerjaan di rumah, mulai dari memasak hingga bersih-bersih. 

Selain itu, Sri juga menceritakan, dalam aktivitas sehari-hari, Sulemi dikenal sebagai orang yang cukup aktif dalam kegiatan sosial dan sering mengurus musala. 

Kedekatannya dengan warga membuat stigma negatif yang itu mulai berkurang. 

Namun, masalah akibat melekatnya nama Sulemi dengan peristiwa G30S sempat kembali datang saat putranya hendak mendaftar sebagai anggota polisi. 

"Saat itu, kami mendapatkan kiriman surat kaleng."

"Katanya, anak kami tidak bisa jadi polisi karena anak bekas G30S. Terus bapak dipanggil untuk klarifikasi," katanya. 

Baca juga: Dituding PKI dan Sulit Urus KK, Penghayat Cilacap Mengadu ke Pemprov Jateng

Sri melanjutkan, setelah klarifikasi, Sulemi sempat memberikan pembelaan dengan mengatakan tidak ada surat keputusan yang menyatakan bahwa anak G30S tidak boleh menjadi polisi. 

"Tapi, karena perjuangan Gus Dur saat itu, akhirnya anak saya boleh mendaftar dan akhirnya sekarang sudah jadi polisi."

"Sekarang anak saya mengabdi di Banjarnegara," ucapnya. 

Dihormati Warga

Seiring waktu berjalan, Sulemi pun semakin disegani oleh masyarakat sekitar tempat mereka tinggal. 

Sulemi bahkan sempat terpilih sebagai ketua RT dalam waktu yang cukup lama. 

Saat Sulemi mengembuskan napas terakhirnya pun dia masih aktif menjabat sebagai ketua RW. 

"Sosok bapak bagi saya itu seperti tokoh, saya merasa bahagia mengenalnya."

"Alhamdulilah, saat meninggal, beliau juga dalam keadaan tersenyum."

"Semoga, beliau meninggal dalam keadaan husnul khotimah," katanya. (*)

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved