TRIBUNBANYUMAS.COM, BANYUMAS - Prosesi pernikahan yang sakral di Kabupaten Banyumas diwarnai oleh dugaan pungutan liar (pungli) dan birokrasi yang rumit.
Aduan sepasang pengantin baru pada Jumat (20/6/2025) memicu perang narasi dengan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Banyumas, yang memberikan penjelasan yang sangat berbeda.
Menurut kronologi versi pengantin, mimpi buruk mereka dimulai di Desa Pekaja, Kecamatan Kalibagor.
Baca juga: Warga Banyumas Bingung Urus KK Baru, Terganjal Buku Nikah Tahun 1961, Kelurahan Dinilai Mempersulit
Mereka mengaku dipaksa menggunakan jasa seorang perantara (kayim) bernama Natham untuk mengurus berkas dan tidak diizinkan melakukannya secara mandiri.
"Alhasil kami harus mengeluarkan uang 250 ribu kepada beliau. Saat istri saya meminta kuitansi, beliau tidak mau memberikannya," tulis pelapor.
Kejanggalan berlanjut saat pihak KUA Kalibagor diduga menolak berkas yang mereka serahkan sendiri dan bersikeras agar proses tetap melalui sang kayim.
Puncaknya, setelah akad nikah, buku nikah mereka tak kunjung diserahkan.
Bahkan, mereka mengaku didatangi oleh Natham pada malam hari yang meminta "uang amplop" untuk penghulu, sebuah permintaan yang mereka tolak mentah-mentah.
Menanggapi aduan serius ini, Kantor Kemenag Banyumas memberikan klarifikasi yang berfokus pada masalah teknis.
Menurut Kemenag, kendala utama bukan pada pungli, melainkan pada data wali nikah.
Ayah dari mempelai perempuan ternyata sudah lama pergi dan tidak diketahui keberadaannya, sehingga memerlukan proses penetapan wali hakim yang memakan waktu.
"KUA tidak pernah mewajibkan pendaftaran melalui kayim dan tidak pernah menahan buku nikah. Setiap selesai pelaksanaan, kami informasikan kepada calon pengantin untuk segera mengambilnya," tegas Kemenag dalam jawabannya.
Namun, di balik klarifikasi teknis tersebut, jawaban Kemenag menyisakan sebuah lubang besar.
Penjelasan dari pihak Kemenag sama sekali tidak menyinggung atau membantah tudingan utama dari warga, yakni dugaan keharusan membayar Rp250.000 kepada kayim dan dugaan permintaan "uang amplop" untuk penghulu.
Kini, bola panas kembali bergulir, dengan publik mempertanyakan apakah masalah sebenarnya adalah kendala administrasi atau ada praktik pungli yang belum tersentuh.