Para dokter di IGD sudah dilatih ketika menangani pasien, terutama perempuan anak supaya tak hanya menilai luka di tubuh.
Mereka akan pula melihat bagian anus dan genetalia.
"Jadi, itu sudah SOP dan harus dikerjakan," ungkapnya.
Dokter dibekali pula kemampuan anamnesis sehingga ketika menemukan kejanggalan kekerasan lalu meminta keterangan kepada keluarga nantinya bisa melakukan kesimpulan awal untuk menguatkan temuan tersebut.
Langkah berikutnya, tim medis bisa melaporkan temuan itu ke pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti.
Sigit menambahkan, kecurigaan itu tidak selalu benar, bisa saja ketika polisi melakukan penyelidikan tidak terbukti tetapi hal itu tak menjadi masalah.
"Sikap jeli itu lebih baik daripada tidak melaporkan tetapi ternyata itu benar-benar korban," imbuhnya.
Baca juga: Minibus Kecelakaan di Tol Semarang-Solo di Boyolali, Saksi: Sopir Sempat Terjepit
Seperti diketahui, dua kasus kekerasan anak terjadi di Kota Semarang dalam satu bulan terakhir.
KSA dilarikan ke RS Panti Wilasa Citarum dengan keluhan sesak napas.
Saat diperiksa, dokter menemukan luka di dubur dan vagina bocah tersebut.
KSA akhirnya meninggal karena TBC akut yang diderita. Namun, polisi menangkap paman korban yang ternyata telah merudapaksa bocah tersebut.
Sementara, DKW juga datang ke RS Panti Wilasa Citarum dalam kondisi sakit parah.
Dokter tak berhasil menyelamatkan nyawanya namun menemukan dugaan kekerasan seksual di tubuh bocah tersebut.
Kasus ini kini tengah ditangani Polrestabes Semarang. Orangtua dan kakak korban telah diperiksa untuk mengungkap kasus ini. (*)
Baca juga: 838 Atlet Jateng Lolos Kualifikasi PON Aceh-Sumut 2024, Mulai Jalani Tes Fisik
Baca juga: Terima Kunjungan Din Syamsudin dan Ketua Organisasi Islam, Cak Imin Harapkan Bantuan Menangkan AMIN