Tradisi

Sucipto Sebut Tradisi Pengantin Padi di Wonosobo untuk Jemput Berkah Dewi Sri

Sebagian petani di Wonosobo masih menjalankan tradisi manten pari atau pengantin padi. Tradisi itu biasanya berlangsung menjelang masa panen.

|
Penulis: Achiar M Permana | Editor: rika irawati
TRIBUN JATENG/IMAH MASITOH
MANTEN PARI - Warga Desa Selokromo, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, menggelar tradisi manten pari, Minggu (27/7/2025), menjelang panen padi. Tradisi ini digelar untuk menjemput berkah Dewi Sri. 

“Ada godong tawa atau dadap serep, ada ngilo (timbangan), ada jungkat (sisir), ada kembang dewuran, wedang kopi, ada wedang teh, ada wedang bening,” sebutnya.

Filosofi Mendalam

Sucipto mengatakan, tiap sesaji menyimpan filosofi mendalam.

Ngilo melambangkan niat petani untuk menjual hasil panen karena biasanya padi akan ditimbang atau dijual secara kiloan.

“Godong tawa melambangkan proses ketika padi sudah dipanen dan akan ditawarkan kepada bakul-bakul atau tengkulak,” kata Sucipto.

Ada pula jungkat atau sisir, yang melambangkan kebijaksanaan petani untuk menyisihkan sebagian hasil panennya untuk kebutuhan makan sendiri, sebelum dijual.

Adapun kembang dewuran dimaknai sebagai harapan agar hasil panen dijual dengan harga yang unggul dan menguntungkan.

Pada sisi spiritual, sesaji juga disempurnakan dengan minuman yang mengandung filosofi mendalam.

Baca juga: Hiburan Langka Atraksi Terjun Payung AirNav di Puncak Hari Jadi ke-200 Kabupaten Wonosobo

Wedang teh menggambarkan karakter petani yang telaten dan hati-hati, wedang bening melambangkan kesucian hati, sedangkan wedang kopi dipercaya sebagai simbol bahwa petani harus berpikir yang bagus seperti mengambil keputusan terkait hasil panennya.

Sebagai pelengkap sesajen, ada pula rokok Sriwedari yang dianggap selaras dengan identitas padi sebagai titisan Dewi Sri.

Sucipto mengatakan, tradisi ini sebagai bentuk syukur menjelang masa panen padi.

Tradisi ini dikenal sebagai ritual memetik Dewi Sri, yakni padi yang dianggap sebagai perwujudan sang dewi yang akan dibawa pulang dari sawah ke rumah.

“Itu tradisi kuno ya, tradisi yang istilahnya memetik Dewi Sri. Dewi Sri itu mau dipetik, itu mau diselamatkan, dibawa ke rumah,” kata Sucipto.

“Istilahnya ada pari lanang, pari wadon. Kalau pari lanang itu satu pikul, pari wadon itu satu gendongan,” lanjutnya.

Sucipto berharap tradisi ini akan terus dilestarikan.

Dia menyebut, seiring waktu tak semua masyarakat masih menjalankan tradisi ini.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved