Darurat Militer di Korea Selatan

Kejar Tenggat Waktu, Jaksa Dakwa Presiden Korsel Pimpinan Pemberontakan Jelang Penahanan Berakhir

Jaksa penuntut mendakwa Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memimpin pemberontakan lewat darurat militer yang dikeluarkan Desember lalu.

Penulis: rika irawati | Editor: rika irawati
Yonhap
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol bersama Kim Yong-hyun, saat masih menjadi Menteri Pertahanan Korea Selatan. Yoon Suk Yeol didakwa memimpin pemberontakan lewat pemberlakuan darurat militer yang singkat pada Desember lalu. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEOUL - Jaksa penuntut mendakwa Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memimpin pemberontakan lewat pemberlakuan darurat militer yang singkat pada Desember lalu, dalam sidang Minggu (26/1/2025) waktu setempat.

Dengan dakwaan tersebut, Yoon yang juga menghadapi sidang pemakzulan, menjadi presiden pertama Korea Selatan yang menjalani dakwaan dalam tahanan tetapi masih menjabat presiden.

Yoon menghadapi tuduhan bersekongkol dengan mantan Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun dan beberapa orang lain untuk menghasut pemberontakan pada tanggal 3 Desember lewat pengumuman keadaan darurat yang tidak konstitusional dan ilegal, meskipun tidak ada tanda-tanda perang, konflik bersenjata atau krisis nasional yang sebanding.

Dikutip dari Yonhap, Yoon juga dituduh telah mengerahkan pasukan militer ke parlemen dalam upaya mencegah anggota parlemen menolak deklarasi darurat militer pada Desember lalu.

Yoon juga dituduh berencana menangkap dan menahan tokoh-tokoh politik utama, termasuk Ketua Majelis Nasional Woo Won-shik dan para ketua partai-partai saingan, serta para pejabat pengawas pemilu.

Baca juga: Gegara Umumkan Darurat Militer, Presiden Yoon Terancam Dimakzulkan dan Para Menteri Resign Massal

Dakwaan ini dilakukan hanya satu hari sebelum masa penahanan Yoon akan berakhir, menyusul penahanannya oleh Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi (CIO) pada tanggal 15 Januari. 

Yoon secara resmi ditahan pada tanggal 19 Januari.

CIO, yang telah memimpin penyelidikan terhadap Yoon, mengalihkan kasus ini ke kejaksaan, pekan lalu, karena lembaga tersebut tidak memiliki mandat hukum untuk mendakwa presiden.

Pada hari Minggu sebelumnya, para jaksa senior dari seluruh negeri berkumpul untuk mendiskusikan langkah selanjutnya dalam kasus Yoon, tanpa memiliki kesempatan untuk menanyai Yoon secara langsung.

Jaksa penuntut telah berusaha menanyai Yoon jika penahanannya diperpanjang. Namun, pengadilan Seoul pada hari Sabtu, menolak permintaan jaksa penuntut untuk kedua kalinya dalam upaya memperpanjang masa penahanan.

Berdasarkan hukum, seorang tersangka harus dibebaskan jika tidak didakwa dalam masa penahanan.

Tim jaksa penuntut yang menyelidiki kasus ini mengatakan bahwa mereka telah meninjau bukti-bukti dan berdasarkan tinjauan yang komprehensif, diputuskan bahwa mendakwa terdakwa adalah tepat.

Namun, dengan hanya dua hari tersisa dalam masa penahanan Yoon, jaksa penuntut sekarang harus membuktikan kesalahan Yoon di pengadilan, tanpa kesempatan untuk menanyainya secara langsung.

"Penolakan pengadilan untuk memperpanjang masa penahanan sebanyak dua kali sulit untuk dipahami, karena hal itu menghalangi investigasi tambahan yang paling mendasar sekalipun, seperti menginterogasi terdakwa secara langsung," kata jaksa.

Baca juga: Duduk Perkara Presiden Korsel Dijemput Paksa Penyidik Antikorupsi: 3 Kali Mangkir Panggilan

Terlepas dari tantangan tersebut, jaksa penuntut mengatakan bahwa mereka telah mendakwa Yoon semata-mata atas tuduhan memimpin pemberontakan, dengan alasan bahwa ia mungkin akan menghancurkan barang bukti.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved