Berita Pendidikan
Polemik Siswa Wajib Pakai Baju Adat, Ortu : Beli Seragam Saja Sudah Berat
Berbagai respon muncul terkait rencana kewajiban mengenakan pakaian adat setiap Kamis di pekan pertama tiap bulan.
Penulis: amanda rizqyana | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Berbagai respon muncul terkait rencana kewajiban mengenakan pakaian adat setiap Kamis di pekan pertama tiap bulan.
Satu di antaranya, Icha, ibu rumah tangga di Kelurahan Pedurungan Kota Semarang yang anaknya baru saja masuk SD.
Hingga saat ini memang belum ada aturan pasti pakaian adat yang dimaksud, namun berkaca pada suaminya yang juga harus memakai baju adat sekali sebulan, ia membayangkan betapa tidak nyamannya anak saat di sekolah.
Ia membayangkan sang anak akan tidak nyaman dan menangis karena gerah dengan material pakaian adat yang tidak menyerap keringat.
Selain itu, anak SD yang kerap kali banyak beraktivitas berisiko merusak pakaian atau model dan jahitan pakaian tidak mendukung aktivitas belajarnya di sekolah.
"Iya, kalau dia punya sendiri, terus kalau sewa, anak-anak nggak bisa dikondisikan di sekolah bisa anteng apa nggak," kata Icha saat dihubungi pada Senin (14/8/2023).
Selain itu terkait biaya yang harus dikeluarkan, karena tidak semua orangtua siswa mampu.
Bahkan ada yang merasa seragam biasa saja memberatkan.
Menurutnya baju adat dipakai saat acara khusus saja seperti hari Kartini.
Sewa pakaian pun tidak bisa menjadi solusi karena biaya sewa puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
Baca juga: Blora dan Grobogan Terdampak Kekeringan Paling Parah di Jateng, Total 7,1 Juta Air Bersih Disalurkan
Sementara baginya yang menyekolahkan anak di sekolah negeri, seragam sekolah pun dianggap memberatkan, apalagi ditambah adanya wacana mewajibkan pakaian adat daerah Semarangan.
"Seragam aja kadang sudah memberatkan apalagi ditambah ada wacana pakai baju adat segala," ujarnya.
Sementara itu orangtua siswa bernama Noni tidak masalah jika anaknya yang sekolah di SMP Negeri di Semarang diharuskan memakai baju adat sebulan sekali.
Ia mengakui aturan itu pro kontra, tapi dia juga paham tujuannya untuk menanamkan kecintaan pada budaya negeri.
"Pemakaian baju adat menurut saya penting, bisa untuk menanamkan kecintaan budaya pada pelajar di tengah gempuran budaya asing yang mulai tertanam pada anak-anak sekarang, semua mulai berkiblat ala-ala Korea, kan, termasuk anak saya sendiri," terang Noni.
Noni mengaku ia pernah menyewa pakaian adat seharga Rp 125 ribu, dan ketika ia mencari pakaian adat di pasaran, harganya Rp 175 ribu.
Maka ia pun memutuskan membeli pakaian adat untuk dimiliki agar dapat digunakan sang anak saat momen tertentu sekolah maupun menghadiri hajatan.
Di samping itu, anaknya yang sudah remaja dan memiliki postur tubuh hampir setinggi dirinya mulai tertarik memakai kebaya yang ia koleksi.
"Beberapa baju saya kecilkan karena seneng juga ternyata melihat anak bisa memakai baju 'lungsuran' kita ya, seru," terangnya.
Orangtua siswa lainnya, Adri juga tidak masalah karena anaknya yang sekarang kelas 2 SD sudah memakai baju adat sebulan sekali sejak kelas 1 SD.
Ia hanya menyiapkan satu stel pakaian ada berupa blangkon, lurik, dan celana batik agar tidak ribet.
Baca juga: Dieng Diselimuti Es, Harga Kentang Jadi Meroket
Menurutnya mengenakan pakaian adat tidak masalah, malah menurutnya seru karena bisa mengajarkan kecintaan pakaian tradisional sejak dini.
"Ya sekarang kalau pakai baju adat ya pakaian itu yang dipakai," ujarnya.
Citra, orang tua siswa TK dan SMP swasta Islam di Semarang mengatakan kewajiban mengenakan pakaian adat bukanlah hal yang baru untuk dua putranya.
Di sekolah kedua anaknya, bahkan terdapat tanggal khusus yang meminta mengenakan pakaian nuansa merah putih di tanggal kelahiran sekolah, pakaian adat di tanggal 17, dan pakaian santri di tanggal 22.
Itu di luar 5 seragam harian, 1 seragam olahraga, dan 1 seragam pramuka yang juga pasti dikenakan tiap pekannya.
Total untuk seragam sekolah anaknya terdapat 10 buah.
"Belum lagi di hari khusus seperti kemarin Hari Anak Nasional, Hari Pahlawan, Hari Kartini, ada lagi pakaian tema tertentu yang diminta guru untuk dikenakan anak," terangnya.
Citra bahkan memiliki satu lemari pakaian tematik profesi, mulai dari tentara, dokter, pahlawan, pilot, dan koleksi beberapa pakaian adat daerah lain.
Ia mengaku memiliki koleksi yang lengkap untuk profesi, karena saat anak pertamanya sekolah dan diminta mengenakan seragam profesi atau adat tertentu, tak menemukan pakaian dengan ukuran yang cocok.
Atau kadang harga sewa dan nyaris sama.
Maka ia pun memutuskan membeli pakaian profesi dan seragam adat, agar dapat dilungsurkan juga pada adiknya.
"Saking banyaknya, guru sekolah anak saya sampe pinjam ke saya, itu lagi saya siapin baju buat dipinjem," terangnya.
Diberitakan sebelumnya, sesuai dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) soal seragam, sempat disinggung soal baju adat yang aturannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang, Dr. Bambang Pramusinto, S.H., S.I.P., M.Si., mengatakan sedang membahas aturan adat untuk siswa SD - SMP.
Baca juga: Teperdaya Pemuda di Facebook, Siswi SMP di Cilacap Rela Kirim Foto Bugil hingga Diperas Rp500 Ribu
Namun ia menegaskan jika dilaksanakan, hal itu diharapkan tidak membebani siswa.
"Jadi kita juga membuat edaran untuk tidak mengkoordinir seragam siswa dari sekolah, kecuali ada seragam khusus seperti batik dan olahraga, itu pun kami juga sekolah tidak boleh memaksa," ujarnya.
Bila orang tuanya baru punya uang ya baru beli.
Kalau perlu bisa dicicil, jangan sampai ada kewajiban yang memberatkan orang tua murid yang tidak mampu.
"Untuk pakaian adat nanti juga tidak dibeli di sekolah. Kalau orang tua belum mampu beli pakaian Semarangan ya jangan ditegur, kita luwes saja," kata Dr. Bambang. (Arh)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.