Berita Jateng
Aksi Kekerasan Seksual Tak Ada Kaitannya dengan Pakaian Korban, Bercadar Pun Kena, Ini Kata Psikolog
Aksi kekerasan seksual terhadap perempuan tak ada kaitannya dengan pakaian yang dikenakan korban.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: mamdukh adi priyanto
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Aksi kekerasan seksual terhadap perempuan tak ada kaitannya dengan pakaian yang dikenakan korban.
Alih-alih perempuan berbaju seksi dan terbuka yang jadi korban, ternyata di Kota Semarang, para korban mayoritas adalah mereka yang mengenakan pakaian sopan.
"Mau pakaian seksi atau tidak, semua perempuan bisa jadi korban," kata psikolog dari Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Kota Semarang, Iis Amalia kepada Tribunbanyumas.com, Rabu (23/3/2022).
Baca juga: RA Wiryaatmaja dan Dr Angka Diabadikan sebagai Nama Jalan di Purwokerto, Siapa Sebenarnya Mereka?
Untuk melakukan kejahatan seksual, pelaku tak memandang pakaian yang dikenakan para korban.
Entah berjilab, berpakaian sesuai norma dan tertutup, pelaku akan tetap melakukan pelecehan seksual.
"Penyebabnya pelaku yang tidak bisa mengontrol hasrat biologisnya.
Bisa juga pelaku alami gangguan psikologis," tutur Iis.
Baca juga: Identitas Pria Tua Tertabrak Kereta Api di Dekat Stasiun Purwokerto Terungkap: Diduga Bunuh Diri!
Ia menyebut, korban yang ditanganinya rata-rata mereka berhijab.
Bahkan pernah ada perempuan bercadar yang menjadi sasaran pelaku pelecehan seksual.
Begitupun korban non-muslim, mereka rata-rata juga berpakaian sopan.
"Apakah pakaian seragam anak SD itu mengundang syahwat? Kan tidak.
Yang mengundang syahwat itu pelakunya yang tak mampu mengontrol hasrat seksualnya," tegasnya.
Baca juga: Ratusan Penghuni Lapas Purwokerto Banyumas Ikuti Vaksinasi Booster
Meski demikian, menurutnya, pandangan masyarakat cenderung lebih suka menghakimi korban seperti karena korban berpakaian seronok dan suka keluar malam.
Padahal korban kekerasan seksual mayoritas adalah mereka yang berpakaian sopan dan kejadian kekerasan seksual tak selalu terjadi pada malam hari.
"Letaknya tidak bukan pada baju korban, kondisinya, cantik, jelek, semua bisa jadi korban kekerasan seksual," terangnya.
Baca juga: Di Daerah Kalian Ada? Orang Berkostum Upin Ipin Jalan Sempoyongan, Fakta Mengejutkan Terungkap!
Parahnya, kekerasan seksual terhadap perempuan didominasi dilakukan oleh orang terdekat.
Terutama para korban anak.
Sebab, orang-orang tersebut banyak berinteraksi dengan korban.
Selain itu, pelaku tahu korban dapat dimanipulasi atau diperdaya.
Para pelaku orang terdekat seperti ayah, paman, pengasuh,tetangganya guru, dan lainnya.
"Para pelaku mengincar korban karena tahu kondisi korban sejauh mana korban bisa dimanipulasi atau diperdaya," bebernya.
Baca juga: Delapan Desa di Banyumas Masih Kebanjiran, Kegiatan Belajar Siswa di Pengungsian Terganggu
Terpisah, Koordinator Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC-KJHAM, Citra Ayu Kurniawati mengatakan, korban kekerasan seksual yang mengadu ke pihaknya kebanyakan adalah mereka yang berpakaian tertutup dan sopan.
Bahkan, ia tak pernah bertemu korban yang berpakaian terbuka atau seksi menjadi korban.
"Bukan masalah pakaian perempuan yang membuatnya rentan menjadi korban melainkan pikiran pelaku yang melihat korban sebagai obyek," jelasnya.
Baca juga: Atlet Taekwondo Kembali Harumkan Nama Purbalingga, Boyong Delapan Medali Emas
Ia menyebut, dilihat dari pakaian para korban kekerasaan seksual, mayoritas para korban mengenakan baju harian di rumah.
Jarang sekali korban mengenakan baju sekolah, seragam kerja dan lainnya.
"Para korban yang melaporkan ke kami tak ada yang ketika kejadian kekerasan seksual terjadi karena berpakaian seksi," bebernya.
Data LRC-KJHAM Kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2020 terdapat 151 kasus.
Tahun 2021 terdapat 85 kasus.
Baca juga: Pasokan Tak Lancar, Agen Minyak Goreng Curah di Kudus Batasi Pembelian 5 Kg untuk Konsumen Baru
Jenis kasus berupa pemerkosaan, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan,KDRT, kekerasan berbasis Gender online (KBGO) dan lainya.
"Mayoritas kekerasan seksual capai 70 persen.
Disusul KDRT yang memiliki angka yang lumayan tinggi," tutur Citra.
Dari data itu, kasus kekerasan terhadap perempuan turun tapi turunnya angka kasus itu bisa saja lantaran korban tak melapor atau tak bisa mengakses layanan.
"Untuk tahun ini ada belasan kasus yang kami terima, angka pastinya belum kami rekap," ungkapnya.
Baca juga: Kasus TBC Melonjak Dua Tahun Terakhir, Dinkes Kudus Mulai Libatkan Klinik Swasta Lakukan Penanganan
Sementara,data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, dari Januari hingga Maret 2022 ini korban kekerasan berdasarkan kelompok usia didominasi oleh usia anak-anak.
Dari total 42 kasus, ada 12 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 6–12 tahun dan 15 kasus kekerasan menimpa kelompok usia 13–18 tahun.
Berdasarkan pendidikan, dari total 42 kasus kekerasan, korban kekerasan mayoritas duduk di bangku SD dan SMP.
Baca juga: Warga Trangkil Pati Resah Wacana Pembangunan Pabrik, DPRD Pertanyakan Perubahan Lahan Hijau Jadi KPI
Sebanyak 14 korban adalah siswa SD dan 9 korban adalah siswa SMP.
Citra menilai, hukuman para pelaku kejahatan seksual sejauh ini juga terhitung ringan.
Seharusnya pelaku dapat dijerat maksimal 15 tahun ternyata praktik putusannya hanya 8 tahun.
"Harapan kita hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku bisa maksimal," katanya.(*)