Berita Nasional
Hari Ini, 23 Tahun Lalu: 4 Mahasiswa Trisakti Tewas dalam Demo Menuntut Presiden Soeharto Mundur
23 tahun berlalu, tragedi 12 Mei 1998 terus dikenang. Peristiwa yang menjadi tonggak reformasi ini memakan korban 4 mahasiswa Trisakti Jakarta.
Aparat juga menembak mahasiswa dari atas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan.
Lebih parahnya lagi, aparat keamanan tidak hanya menghujani mahasiswa dengan peluru karet.
Pihak kampus menemukan aparat melakukan tembakan terarah dengan menggunakan peluru tajam.
"Kami sudah bilang aparat jangan represif tapi kok seperti ini. Mahasiswa saya ditembaki dengan peluru tajam dan itu berlangsung di dalam kampus," terang Adi Andojo.
"Padahal, seharusnya, ada prosedurnya. Kok ini tiba-tiba pakai peluru tajam dan mereka (mahasiswa) sudah berada di dalam kampus. Padahal mahasiswa tidak melawan, tidak melempar batu, dan tidak melakukan kekerasan. Mahasiswa saya itu sudah berangsur-angsur pulang ke kampus," jelasnya.
Wakil Ketua Komnas HAM saat itu, Marzuki Darusman menyatakan, ada serangan terhadap kemanusiaan dalam menangani aksi massa.
Mahasiswa yang menjadi korban penembakan kemudian dilarikan ke sejumlah rumah sakit, salah satunya adalah RS Sumber Waras.
Baca juga: Satpas Porlesta Banyumas Libur 12-16 Mei 2021, Ada Dispensasi Perpanjangan hingga 19 Mei
Baca juga: Dapur Milik Warga Bojongsari Purbalingga Terbakar, Berawal dari Masak Pepes Ditinggal Nonton TV
Baca juga: 4 Pemudik asal Banyumas Masih Jalani Karantina di GOR Satria Purwokerto, Begini Suasananya
Baca juga: Ditembak di Kaki, Pembunuh Pemandu Lagu di Pusponjolo Semarang Tertangkap. Sempat Kabur ke Grobogan
Suasana mencekam di RS Sumber Waras begitu terasa. Perasaan cemas, takut, sedih dan marah bercampur menjadi satu.
Pasca kejadian, dalam konferensi pers, pihak Universitas Trisakti menyatakan ada enam korban meninggal namun empat hari kemudian dipastikan, empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban.
Pelaku masih menjadi misteri
Dikutip dari buku Mahasiswa Dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah Yang Tak Terungkap (2016) karya Rosidi Rizkiandi, ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries, menyebut, hasil visum menunjukan adanya serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh salah satu korban Hery Hertanto.
Peluru itu biasanya digunakan pada senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1. Kala itu, Styer biasa digunakan oleh Brimob dan Kopassus.
Hasil yang sama juga ditemukan Tim Pencari Fakta ABRI dan uji balistik di Forensic Technology Inc, Montreal, Kanada.
Tapi, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah jika anak buahnya beraksi menggunakan peluru tajam.
Kapolda Metro Jaya Hamami Nata mengklaim bahwa pihak kepolisian hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet dan gas air mata.