Berita Nasional
Bawa 53 Penumpang dan 12 Awak, Berikut Kornologi serta Fakta Jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182
Pesawat berpenumpang 53 orang dan 12 awak tersebut diduga meledak saat baru empat menit lapas landas dari Bandara Soekarno Hatta.
"Hanya data FDR (flight data recorder) yang nanti bisa membuktikan yang sebenarnya," ujar dia.
Yayan juga menyebut, ada banyak kemungkinan penebab ketinggian pesawat turun setelah sempat melebihi 10.000 feet itu.
Namun, lagi-lagi menurut dia kepastian hanya bisa didapat setelah FDR dan rekaman percakapan di kokpit pesawat (cockpit voice recorder atau CVR) dibuka oleh Komiten Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).
Bicara kemungkinan, penyebabnya bisa beraneka ragam. Sejarah mencatat sejumlah insiden dipicu burung masuk ke mesin dan menjadikannya mati.
Ada pula kejadian mesin mati karena masuk ke ketinggian di tengah cuaca tertentu yang membuat es terbentuk di dalamnya.
Namun, Yayan pun memberi catatan bahwa bila persoalan yang terjadi adalah mesin mati maka ada sederet pertanyaan yang muncul lagi. Misal, apakah seketika dua mesin mati atau hanya salah satu?
Katakanlah kedua mesin mati, Boeing 737 klasik pernah mencatatkan sejarah penyelamatan besar ketika pilot Garuda berhasil mendaratkannya di tengah Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah.
Peristiwa tersebut memang melibatkan seri Boeing yang berbeda, yaitu Boeing 737-300, tetapi masih sama-sama dari seri klasik dengan karakteristik tak jauh berbeda.
"Di situ jelas terlihat, kalau mesin mati pun masih ada peluang pilot mengambil opsi gliding (melayang tanpa dorongan mesin)," sebut Yayan.
Terlebih lagi, posisi terakhir ketinggian Sriwijaya Air SJY 182 saat mulai mengurangi ketinggian ada di kisaran 10.000 feet. Menurut dia, dari ketinggian itu berputar balik ke Bandara Soekarno Hatta dalam mode gliding pun masih memungkinkan.
Yayan menyebut, besar kemungkinan penyebab jatuhnya pesawat Sriwijaya SJY 182 ini jauh berbeda pula dengan insiden Lion Air JT 610 pada pengujung 2018.
Dalam kejadian yang sampai mengguncang industri penerbangan global itu, penyebab kecelakaan adalah teknologi yang masih baru, asing, dan kurang sosialisasi penggunaan.
Dalam kasus Boeing 737 Max 8—yang tidak hanya terjadi di Indonesia—sematan teknologi baru maneuvering characteristic augmentation system (MCAS) jadi pangkal persoalan utama.
Fitur ini hadir karena Boeing 737 Max 8 punya kapasitas mesin yang melonjak dibanding seri klasik sehingga pengaturan manuver pesawat menjadi lebih kompleks.
Gambarannya, tenaga pesawat yang bertambah besar memberikan kemungkinan pula moncong mendongak laiknya saat hendak lepas landas.
Boeing membuat MCAS sebagai solusi otomatis untuk menurunkan arah moncong pesawat. Sekalipun, pilot sejatinya dapat menangani secara manual kecenderungan moncong mendongak, meski itu lebih banyak makan energi pilot.
Saat sosialisasi dan pelatihan tak mencukupi, MCAS justru jadi bencana. Moncong yang sebenarnya sudah di posisi tepat justru terbaca mendongak oleh MCAS. Karenanya, MCAS merespons dengan upaya otomatis mengarahkan moncong pesawat ke bawah.
Jawaban atas misteri penyebab jatuhnya Boeing 737-500 yang digunakan untuk penerbangan Sriwijaya Air berkode SJY 182 pada Sabtu (9/1/2021) ini tinggal bisa menanti penyidikan KNKT.
"Biasanya (penyidikan KNKT) makan waktu sembilan bulan sampai 1,5 tahun," sebut Yayan.
Posko dan kontak
Pemerintah dan Sriwijaya Air membuka posko dan kontak darurat bagi keluarga korban jatuhnya Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJY 182.
Posko di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, berada di Terminal 2D Kedatangan bandara. Holline untuk layanan keluarga penumpang adalah 021-80637817.
Sriwijaya Air membuka pula posko layanan di kantor perusahaan, di Bandara Soekarno Hatta, dan di Pontianak.
"Kami menyiapkan posko dibantu APII," kata Dirut Sriwijaya Air, Jefferson Irwin Jauwena, Sabtu.
Jefferson menyatakan, perusahaannya akan melakukan pendampingan pula kepada para keluarga penumpang pesawat ini.
Kepala Disaster Victim Identification (DVI) Pusdokkes Polri, Kombes Ahmad Fauzi, menyebut timnya juga sudah bersiap di RS Soekanto (RS Polri) di Kramatjati, Jakarta Timur, untuk melayani keluarga korban musibah Sriwijaya Air SJY 182 ini.
"Besok (Minggu), akan lebih lagi (personel) tim," kata Fauzi, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu malam.
Keluarga juga telah diminta membawa serta sejumlah benda atau dokumen yang dapat digunakan untuk proses identifikasi. DVI akan melakukan identifikasi post mortem dan ante mortem.
Data ante mortem ini yang diharapkan didapat dari dokumen atau barang yang dibawa serta oleh keluarga. Seperti, data sidik jari, susunan gigi, dan atau benda yang dipastikan dipakai para korban sebelum ini.
Adapun data post mortem berasal dari hasil temuan tim pencari di lapangan.
Proses pencarian korban dan puing pesawat Sriwijaya Air SJY 182 dilakukan dengan melibatkan tim dan peralatan dari Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Badan SAR Nasional (Basarnas), TNI AL, dan Polisi Air (Polair).
Setidaknya, delapan kapal Basarnas, empat kapal perang milik TNI AL, dan enam kapal Polair terlibat dalam upaya tersebut.
Sementara itu, KNKT menyatakan saat ini proses investigasi telah dimulai dengan langkah awal berupa pengumpulan data.
"(Dari) data cuaca, data pesawat, data penerbangan. (Tapi, saat ini) yang paling utama adalah safe and rescue (SAR), kami mengikuti. Kalau SAR mengatakan kami sudah bisa turun (investigasi), kami akan turun," ungkap Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, Sabtu malam.
Selain berkoordinasi dengan Basarnas, lanjut Soerjanto, koordinasi juga dilakukan KNKT ke TNI AL, Polri, KPLP, bahkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
"(Koordinasi ke BPPT) untuk untuk meminjam kalau diperlukan Kapal Baruna Jaya 4. Kapal Baruna Jaya 4 ini dilengkapi dengan peralatan survei bawah air," ujar Soerjanto. (*)
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul "Kronologi, Fakta, dan Misteri Jatuhnya Boeing 737 500 Sriwijaya Air SJY 182".