Berita Purbalingga

Kisah Heroik Usman dan Harun, Pahlawan Asal Purbalingga yang Mati Digantung di Penjara Singapura

Usman Janatin adalah pahlawan nasional yang kini menjelma menjadi nama kapal perang Republik Indonesia (KRI) Usman Harun.

Penulis: khoirul muzaki | Editor: deni setiawan
TRIBUN BANYUMAS/KHOIRUL MUZAKKI
Aryoto, adik ipar Usman Janatin di rumahnya, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, PURBALINGGA - Nama Usman Janatin mungkin tak setenar Jenderal Soedirman.

Tapi pengorbanannya untuk negeri ini tak kalah membanggakan.

Keduanya sama-sama terlahir dari tanah Perwira, Kabupaten Purbalingga.

Usman Janatin adalah pahlawan nasional yang kini menjelma menjadi nama kapal perang Republik Indonesia (KRI) Usman Harun.

Harun adalah nama teman seperjuangan.

Keduanya mati di tiang gantungan di penjara Changi Singapura, 1968. 

Di luar mereka dicap sebagai teroris.

Namun bagi rakyat dan pemerintah Indonesia, mereka diberi kehormatan tinggi sebagai pahlawan.

Pemkab Purbalingga Usulkan Raperda Penanggulangan Penyakit Menular, Ini Maksud Tujuannya

Dilaksanakan Mulai Selasa di Purbalingga, Setiap Puskesmas Ditarget Delapan Orang Tes PCR per Hari

APK Sudah Diserahkan, KPU Purbalingga Minta Tim Pemenangan Paslon Segera Memasangnya

Beberapa hari lalu, di rumah Aryoto, adik ipar Usman Janatin, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, seorang pria lanjut datang bertamu.

Dia mengaku teman Usman Janatin yang masih tersisa.

Sebuah foto dalam figura yang dibawanya untuk meyakinkan pria itu memang sejawat Usman.

Ia meninggalkan foto itu untuk kenangan di rumah keluarga Usman. 

Dalam foto itu, beberapa pria tegap menghadap kamera.

Usman berdiri paling tengah.

Dia terlihat tampan dan gagah, seperti dalam foto lain yang terpajang di dinding rumah. 

Usman yang diam-diam mendaftar sebagai tentara ternyata tak berumur panjang.

Dia mati dalam kondisi masih lajang.

"Usianya baru 24 tahun saat meninggal," kata Aryoto, adik ipar Usman Janatin di rumahnya, Desa Jatisaba, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga kepada Tribunbanyumas.com, Selasa (6/10/2020).

Sebuah bom meledak di sebuah hotel di jantung kota Singapura yang saat itu bagian dari federasi Malaya, 1965. 

Gedung penting itu pun luluh lantak.

Penghuninya banyak yang luka hingga meninggal.

Pemerintah Malaysia berang.

Satu misi rahasia telah berhasil.

Para penyusup sukses membuat ricuh tanah Malaya.

Usman Janatin dan Harun tergesa meninggalkan kota.

Mereka lari beriringan.

Di ujung daratan mereka tertahan.

Sebuah perahu motor bisa membantu mereka melarikan diri, menyeberangi lautan. 

Mereka memaksa penumpangnya turun dan menyerahkan perahunya.

Tubuhnya dilempar, perahunya dirampas.

Tingkat Kesembuhan Santri Positif Covid-19 Tinggi di Banyumas, 73 Orang Sudah Sembuh

Pelaku Incar Kios Pintu Terbuka di Banyumas, Mayoritas Curi Ponsel, Kini Mendekam di Penjara

Terbongkar! Kasus Perdagangan Anak di Banyumas, Orangtua Curiga Ada Benjolan di Alat Vital Anaknya

“Ada perahu boat mau menyeberang, oleh Usman dan Harun, dia dilempar, lalu perahunya dibawa kabur,” katanya.

Dengan kendaraan bertenaga BBM itu, Usman dan Harun melesat membelah gelombang.

Mereka kian jauh meninggalkan daratan.

Mereka harus lari sejauh mungkin agar lepas dari kejaran polisi yang meradang.

Nahas, perahu yang mereka tumpangi kehabisan energi di tengah jalan.

BBM yang menggerakkan mesin perahu tetiba habis.

Harapan untuk kembali ke bumi pertiwi terkikis.

Ini firasat, riwayat Usman dan Harun akan berakhir sama dengan nasib mesin perahu yang mereka tumpangi. 

Sementara musuh di belakang terus mengejar.

Perahu rampasan itu gagal menyelamatkan mereka dari kejaran polisi. 

Sang pengacau akhirnya tertangkap.

Mereka dibawa mendarat kembali ke Singapura untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Jadi tertangkapnya itu karena perahunya kehabisan bensin."

"Kalau tidak, ya mungkin lolos,” katanya kepada Tribunbanyumas.com, Selasa (6/10/2020).

Saat berkonfrontasi dengan Malaysia, Soekarno diam-diam mengirimkan pasukan ke Singapura yang saat itu masih bagian federasi Malaysia.

Soekarno, kata Aryoto, ingin membantu penduduk Malaya yang serumpun dengan rakyat Indonesia agar terbebas dari pendudukan Inggris.

Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu dianggap hanyalah negara boneka Inggris.

Soekarno memutuskan untuk melawan kepentingan Inggris di Malaysia.

Sampai ia menggelorakan gerakan Ganyang Malaysia yang saat itu dipimpin perdana menteri Tengku Abdul Rahman.

Soekarno diam-diam mengirim sukarelawan. 

Mereka sebagian adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama korps marinir TNI Angkatan Laut saat itu. 

Mereka menyusup menggunakan seragam preman.

Usman Janatin satu di antara prajurit KKO yang gagah berani mengambil misi rahasia itu.

Ia ditemani Harun, seorang nelayan dari pulau Bawean yang menguasai medan karena biasa menjelajah ke negeri seberang. 

Belakangan, setelah dieksekusi, Harun diganjar penghargaan oleh pemerintah Indonesia dengan pangkat Kopral Anumerta KKO.

Kopral Usman Janatin dinaikkan pangkatnya menjadi Sersan Anumerta KKO.

Pemerintah juga menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan mengangkat keduanya menjadi Pahlawan Nasional.

11 Oktober Fenomena Hari Tanpa Bayangan di Purwokerto, Berlangsung Selama Delapan Detik

Triyono Sudah Berganti Nama, Napi Kasus Penipuan Berkedok MLM Ditangkap Tim Kejari Purwokerto

Bakal Ada Dua Ikon Baru di Sekitar Jembatan Bung Karno Purwokerto, Masih Proses DED

"Harun penunjuk jalan. Usman kemana-mana mengikuti Harun yang paham daerah sana,” katanya.

Usman Janatin dan teman-temannya mengemban tugas berat.

Misi utama mereka adalah memancing kerusuhan melalui rangkaian aksi sabotase.

Kantor dan gedung penting diledakkan, hingga Malaya bergolak.

Sayang, Usman dan Harun tertangkap seusai berusaha melarikan diri.

Menurut Aryoto, Usman dan Harun ditahan cukup lama, sekira 3,5 tahun, sebelum nasibnya berakhir di tiang gantungan, 17 Oktober 1968. 

Aryato tidak mengetahui ikhtiar pemerintah Indonesia untuk membebaskan Usman dan Harun saat itu.

Sebab situasi dalam negeri kala itu juga tengah mengalami pergolakan hebat, dari peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965.

Hingga peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto.

Di tengah kemelut politik dalam negeri, nasib Usman dan Harun merana di penjara Changi. 

Kabar mengenai Usman hanya diketahui orang tuanya melalui secarik surat yang ditulis dari balik jeruji.

Surat yang sudah melalui pemeriksaan otoritas penjara Changi itu diterima oleh orangtuanya di Desa Jatisaba, Purbalingga tiap bulan.

Selainnya, ia hanya menanti kabar putranya melalui siaran radio. 

Hingga suatu sore, 16 Oktober 1968, berita yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) membuat keluarga itu tak bisa tidur semalaman.

Siaran itu terdengar seperti gelegar petir yang langsung menyambar jantung.

Usman dan Harun, dua pahlawan asal Indonesia esok hari akan dieksekusi, 17 Oktober 1968.

“Kemudian paginya, ada siaran, Usman dan Harun meninggal."

"Langsung sini pasang bendera setengah tiang,” katanya. (Khoirul Muzakki)

Tak Cuma Terjaring Razia Masker di Tegal, Pemuda Asal Brebes Ini Ketahuan Bawa 549 Pil Hixymer

KABAR BAIK! Petani Tembakau di Temanggung Bisa Tunda Bayar Kredit Hingga Setahun

Polisi Berpangkat AKBP Diduga Peras Perajin Jamu di Cilacap, Mulyono: Saya Dimintai Rp 1,2 Miliar

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved