Berita Nasional

BPJS Watch: Pemerintah Kehilagan Akal dan Nalar, Seenaknya Naikkan Iuran Kepesertaan

BPJS Watch: Pemerintah Kehilagan Akal dan Nalar, Seenaknya Naikkan Iuran Kepesertaan

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool
Presiden Joko Widodo merapihkan masker yang digunakannya saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020) - BPJS Watch menilai Presiden Jokowi telah kehilangan akal dan nalar, sehingga menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah masa pandemi corona. 

"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat."

TRIBUNBANYUMAS.COM, JAKARTA - Keputusan Presiden Joko 'Jokowi' Widodo kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuai respon negatif dari berbagai kalangan masyarakat.

Terlebih, kenaikan tersebut dilakukan di tengah masa himpitan kesulitan ekonomi, dampak pandemi virus corona (Covid-19).

Bahkan, BPJS Watch menilai Presiden Jokowi dan pemerintahannya telah kehilangan akal dan nalar.

Sebab, aturan terbaru terkait kenaikan iuran ini masih memberatkan masyarakat.

Terlebih, iuran peserta mandiri kelas I dan II dianggap tidak jauh berbeda dari aturan sebelumnya, yang telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).

Di Tengah Pademi, Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan Hampir 2 Kali Lipat, Bakal Kembali Digugat?

Nihayatul Wafiroh Kecewa Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Masyarakat akan Gugat Lagi

Begini Alasan Jokowi Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan Hampir 2 Kali Lipat

Pasca-putusan MA Batalkan Kenaikan BPJS Kesehatan, Komisi IX DPR: Saatnya Berbenah, Kami akan Awasi

"Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat," ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar.

Ia menilai bahwa kebijakan menaikkan iuran BPJS saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai kepekaan sosial.

Padahal, menurut dia, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh Covid-19.

"Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri. Di tengah pandemi dan resesi ekonomi saat ini, putusan MA hanya berlaku tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020," kata Timboel.

Melawan putusan MA

Kebijakan itu juga dianggap melawan putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya membatalkan peraturan presiden yang mengatur soal rencana kenaikan iuran BPJS.

Kenaikan iuran BPJS kali ini tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020).

Kenaikan iuran untuk peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34.

Kenaikan tarif mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.

Berikut rincian kenaikannya:

  • Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000.
  • Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000.
  • Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000.

Namun, pemerintah memberi subsidi Rp16.500 untuk kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp25.500.

Kendati demikian, pada 2021, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp35.000.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan.

"Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan, dan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan," kata Airlangga.

Jokowi Menentang Putusan Pengadilan

Pada Oktober 2019, Jokowi juga menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.

Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut pada akhir Februari 2020.

Jumlah kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA itu memang sedikit lebih besar dibanding perpres terbaru.

Perpres 75/2019 itu juga tak mengatur skema subsidi bagi peserta kelas III layaknya perpres saat ini.

Berikut rincian kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA:

  • Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp160.000, dari semula Rp80.000
  • Iuran peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp110.000, dari semula Rp51.000
  • Iuran peserta mandiri kelas III naik menjadi Rp42.000, dari semula Rp25.500

Dalam pertimbangannya, MA melihat ada ketidaksesuaian perpres tersebut dengan beberapa undang-undang, termasuk UUD 1945.

"Tidak sejalan dengan jiwa semangat UUD 1945, lalu juga ditunjang oleh aspek sosiologis, keadilan, mempertimbangkan orang yang tidak mampu dan sebagainya," kata Jubir MA Andi Samsan Nganro.

Pengabaian Hukum

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan MA.

Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.

"Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA."

"Sebab, itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri.

Menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.

Hal itu tertuang dalam Undang-Undang tentang MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Feri mengatakan bahwa putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan.

Oleh karenanya, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan.

"Seberapa pun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," ujar Feri.

Justru, Feri menilai, Jokowi sengaja membuat nominal kenaikan sedikit berbeda dari perpres sebelumnya sebagai dalih agar perpres ini tidak dinilai bertentangan dengan putusan MA.

Padahal, hal itu merupakan upaya penyelundupan hukum.

"Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian, Presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.

Pemerintah Tak Miliki Empati

Anggota Komisi XI DPR Saleh Daulay juga menilai, pemerintah tidak memiliki empati kepada masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini.

"Masyarakat di mana-mana lagi kesulitan. Dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran tersebut," ucap dia.

Saleh justru merasa khawatir karena banyak masyarakat tidak bisa membayar iuran BPJS Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat.

Akan Kembali Digugat

Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) berencana kembali mengajukan gugatan uji materi terhadap aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"KPCDI berencana kembali mengajukan uji materi ke MA kembali atas perpres tersebut."

"Saat ini sedang berdiskusi dengan tim pengacara dan menyusun uji materi tersebut," ujar Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto.

Cara Mudah Cek Kepesertaan Bansos Covid-19 Melalui Aplikasi, Simak Petunjuk Berikut Ini

Hubungi Saja Nomor Ini, Bila Masyarakat Jumpai Bansos Tidak Tepat Sasaran di Purbalingga

Mudik Lokal Dalam Satu Wilayah Tidak Dilarang Saat Idul Fitri, Namun Ada Syaratnya

23 ASN Purbalingga Melawan! Laporkan Balik Bawaslu ke DKPP, Kuasa Hukum: Tidak Profesional

KPCDI adalah organisasi yang sebelumnya menggugat Perpres 75/2019 hingga akhirnya dibatalkan oleh MA.

Menurut Petrus, walau ada perubahan jumlah angka kenaikan dalam Perpres Nomor 64, hal itu dirasakan masih memberatkan masyarakat.

"Terlebih saat ini masih dalam situasi krisis wabah Covid-19. KPCDI melihat hal itu sebagai bentuk pemerintah mengakali keputusan MA," kata Petrus.

Pihaknya menilai pemerintah seharusnya tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

"Walau perpres tersebut masih memberikan subsidi bagi kelas III, tetapi per Januari 2021 iuran akan naik menjadi Rp 35.000," ujar Petrus. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Jokowi Naikkan Iuran BPJS di Tengah Pandemi: Dinilai Tentang Putusan MA, Tak Peka, hingga Akan Digugat Lagi

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved