Berita Jateng
Kriminalisasi Terus Berulang, Ratusan Petani Serbu Polda Jateng
Aksi ini untuk mendesak aparat kepolisian agar tidak memproses hukum secara serampangan terhadap petani
Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Persatuan Gerakan Rakyat Tani (Pager Tani) Jawa Tengah melakukan aksi demonstrasi di depan Markas Polda Jawa Tengah kota Semarang, Senin (17/11/2025).
Aksi ini untuk mendesak aparat kepolisian agar tidak memproses hukum secara serampangan terhadap sembilan petani dan pejuang lingkungan dari Kabupaten Pati, Kendal dan Jepara.
"Aksi ini kami lakukan untuk mendesak aparat kepolisian agar menghentikan kriminalisasi terhadap sembilan petani dan pejuang lingkungan dari daerah Kendal, Pati dan Jepara," ungkap Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang, Abdul Kholik Rahman kepada Tribun.
Pager tani merupakan aliansi Organisasi Tani, Organisasi Pejuang Lingkungan, Mahasiswa dan Jaringan Masyarakat Sipil yang berada di Jawa Tengah.
Aksi mereka di kota Semarang menerjunkan sekitar 100 massa aksi terdiri dari petani dari berbagai daerah seperti Kendal, Jepara, Pati dan Kabupaten Batang.
Abdul mengatakan, sembilan petani dan pejuang lingkungan yang dikriminalisasi meliputi tiga pejuang lingkungan di Sumberrejo, Jepara.
Tiga orang tersebut dituding melakukan dalih penghalang-halangan aktivitas tambang sehingga dilaporkan ke Polres Jepara oleh perusahaan tambang, CV Senggol Mekar. Kasus ini sudah masuk ke tahap penyidikan di meja polisi.
Adapula empat petani di Pundenrejo, Pati, yang dilaporkan ke Polresta Pati oleh perusahaan PT Laju Perdana Indah (PT LPI), dengan dalih petani melakukan pengerusakan tanaman tebu.
Sementara di Dayunan Kendal, terdapat dua petani di laporkan ke Polda Jateng karena dengan dalih penyerobotan lahan. Laporan itu dilayangkan PT Soekarli.
"Kami mendesak Kapolda Jateng untuk menghentikan proses penyelidikan dan penyidikan dengan terlapor petani dan pejuang lingkungan yang sedang mempertahankan hak-haknya," ungkapnya.
Menurut Abdul, kriminalisasi ini merupakan pola-pola yang dilakukan oleh perusahaan yang berhadapan dengan warga baik di konflik agraria maupun pertambangan dengan tujuan untuk menggembosi atau melemahkan gerakan.
Ketika gerakan warga atau petani melemah perusahaan bisa dengan gampang merampas tanah rakyat.
"Selain menghadapi kriminalisasi, para warga dari tiga daerah tersebut mendapatkan serangkaian intimidasi yang diduga dilakukan oleh para perusahaan tersebut," ungkapnya.
Abdul khawatir jika kriminalisasi ini terus dilakukan dengan menyasar para petani maka reforma agraria yang seharusnya tanggung jawab dari negara yakni negara meredistribusikan hak atas tanah kepada warga negara justru malah tidak terwujud.
Negara dalam hal ini telah melakukan pengabaian terhadap hak asasi manusia terutama kepada kaum tani di Jawa Tengah.
Di samping itu, dalam kasus di Jepara jika Kriminalisai ini dilanjutkan, maka negara juga telah melakukan pengabaian terhadap hak atas lingkungan.
Ia menyebut, sebebarnya setiap warga negara yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungan itu dilindungi oleh undang-undang di antaranya Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dipidana maupun digugat secara perdata.
"Untuk itu, Kami meminta polisi untuk mengetahui bahwa warga yang merupakan pejuang lingkungan itu tidak bisa digugat secara perdata dan tidak bisa dipidana," bebernya.
Namun, dalam praktiknya para petani yang sedang memperjuangkan hak-haknya tetap dilaporkan ke polisi seperti yang dialami oleh petani asal Dayunan, Pesaren, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, Ropi'i .
Tokoh payuban Kawulo Alit Mandiri (KAM) Dayunan itu dilaporkan ke Polda Jateng oleh PT Soekarli dengan tudingan penyerobotan lahan.
Baca juga: Pemprov Gercep Kirim Bantuan Korban Longsor Pandanarum Banjarnegara
"Saya dilaporkan karena menanam cengkeh dan hasilnya sudah pernah saya jual. Kemudian saya dilaporkan ke Polda Jateng 11 November lalu, padahal tanah itu sertifikatnya atas nama Bapak saya, jadi saya tidak pernah menyerobot atau mencuri di atas tanah saya sendiri," ucap Ropi'i.
Ia mengungkap, konflik ini bermula ketika PT Soekarli mengkalim secara sepihak tanah seluas 16 hektar yang terbagi ke 13 bidang tanah bersertifikat di Dayunan.
Tanah itu diklaim telah disewa lalu dibeli perusahaan tersebut tetapi selepas diperiksa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kendal ternyata tanah itu masih milik warga. Selepas itu, pada tahun 2014, warga mulai menduduki tanah nenek moyangnya yang telah dikelola oleh PT soekarli selama puluhan tahun.
"Tanah itu kini dikuasi oleh 76 Kepala Keluarga, meraka itu semua ahli waris, baik itu anak dan cucu, Jadi tidak ada orang lain kecuali ahli waris sah," paparnya.
Sejak itulah, konflik tersebut mulai terjadi. Warga Dayunan sampai ke meja pengadilan untuk mempertahankan haknya.
Di meja pengadilan, gugatan PT. Soekarli Nawaputra Plus terhadap para petani tersebut ditolak pada tahun 2015.
Akan tetapi pada proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dimenangkan oleh perusahaan.
"Pada tingkat kasasi banding , PK kami kalah. Tapi di belakang hukum banding, PK, kasasi kan tidak tahu. Sebab, yang disidang kan berkas ya," katanya.
Tak hanya di persidangan, para tokoh gerakan warga Dayunan seperti Ropi'i dan Trisminah dilaporkan ke Polda Jateng. Mereka berdua dianggap sebagai tokoh penggerak warga di wilayah tersebut.
Meskipun mendapatkan intimidasi dari perusahaan dengan dilaporkan ke polisi, Ropi'i mengaku, tidak gentar.
"Kami akan berjuang sampai titik penghabisan darah," terangnya.
Sementara Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng, Kombes Pol Artanto menyebut, masih akan melakukan pemeriksaan terhadap tuntutan para petani tersebut.
"Kami cek dahulu karena tuntutan berkaitan dengan beberapa polres," katanya. (Iwn)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banyumas/foto/bank/originals/Demi-kriminalisasi-petani.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.