Wonosobo

Wonosobo Meretas Jalan Bagi Kaum Difabel, dari Perda hingga Ujung Trotoar

Wonosobo mungkin belum sempurna, tapi janji untuk menjadi 'rumah' bagi semua warganya kini mulai terasa wujudnya.

Penulis: Imah Masitoh | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUN BANYUMAS/ IMAH
SUARA KOMITMEN WONOSOBO. Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Wonosobo, Kristijadi, menjelaskan perjalanan panjang dan komitmen Pemkab Wonosobo dalam mewujudkan infrastruktur layanan publik yang inklusif dan ramah bagi penyandang disabilitas. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, WONOSOBO – Dulu, gedung-gedung pemerintahan di Wonosobo mungkin terasa angkuh dan dingin bagi sebagian warganya.

Tangga-tangga yang curam dan pintu-pintu yang sempit adalah tembok tak kasat mata bagi para penyandang disabilitas.

Namun kini, pemandangan itu pelan-pelan berubah.

Baca juga: SD dan SMP Negeri di Wonosobo Wajib Terima Siswa Difabel, Guru akan Mendapat Pelatihan Khusus

Ramah Difabel

Sebuah janji yang diikrarkan lebih dari satu dekade lalu, mulai menampakkan wujudnya dalam bentuk jalur landai, pegangan tangan, dan toilet yang lebih ramah.

Ini bukan sekadar proyek pembangunan fisik.

Ini adalah upaya membayar lunas sebuah ikrar.

Kristijadi, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Wonosobo, menceritakan kembali perjalanan panjang itu.

Sebuah perjalanan yang dimulai pada tahun 2013, saat Wonosobo dengan berani mendeklarasikan diri sebagai kabupaten ramah hak asasi manusia.

"Ikrar itu kemudian kami tuangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016," ujar Kristijadi, Minggu (12/10/2025).

Namun, Perda saja tak cukup.

Ia hanyalah payung hukum di atas kertas.

Untuk mengubah kertas menjadi beton dan baja, lahirlah Peraturan Bupati Nomor 17 pada tahun 2023.

Aturan inilah yang menjadi 'cambuk' bagi setiap pembangunan.

Tak ada lagi bangunan baru yang boleh berdiri angkuh sendirian, tanpa memikirkan mereka yang berjalan dengan kursi roda atau tongkat.

“Setiap pembangunan atau rehabilitasi kantor publik kini harus diverifikasi oleh DPUPR untuk melihat bagaimana kesesuaian gambar RAB dengan prinsip inklusif tadi," tegasnya.

Hasilnya? Kristijadi memperkirakan, sekitar 70 hingga 80 persen gedung layanan publik kini telah memiliki fasilitas dasar bagi kaum difabel.

Angka itu mungkin belum sempurna, tapi di baliknya ada denyut komitmen yang terus berdetak.

“Walaupun secara fisik belum sempurna, paling tidak kita sudah ada komitmen menuju Wonosobo yang inklusif,” ucapnya.

Dan janji itu tak berhenti di pintu kantor.

Ia merayap hingga ke trotoar-trotoar kota.

Pemerintah daerah kini juga mulai menerapkan prinsip yang sama di ruang-ruang publik, memastikan setiap jengkal tanah Wonosobo bisa dinikmati oleh semua.

Prosesnya memang tak secepat membalik telapak tangan.

Gedung-gedung tua menjadi tantangan.

Anggaran menjadi pertimbangan.

Namun, melalui rapat-rapat koordinasi dan inventarisasi, catatan-catatan kecil terus dibuat.

"Kalau ada catatan, kita sampaikan saat rakor. Kalau memungkinkan, kita anjurkan dilakukan rehabilitasi," kata Kristijadi.

Wonosobo sedang dalam perjalanan panjang.

Perjalanan untuk memastikan bahwa kata 'pelayanan publik' benar-benar berarti melayani seluruh publik, tanpa terkecuali.

Sebuah perjalanan dari janji di atas kertas, menjadi jalan yang benar-benar bisa dilalui oleh semua.

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved