Berita Jateng

Prasasti Candi Angin Singkap Peradaban Jepara di Masa Silam

Prasasti Candi Angin diyakini berasal dari masa Jawa kuno, mungkin sezaman dengan munculnya kerajaan-kerajaan awal di Jawa Tengah

Penulis: Tito Isna Utama | Editor: khoirul muzaki
Tito Isna
ILUSTRASI - Suasana para pengunjung wisatawan melihat peninggalan sejarah di Museum Kartini, Kabupaten Jepara. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, JEPARA - Di balik perbukitan sejuk di Keling, Kabupaten Jepara, tersimpan batu tua yang diam selama berabad-abad. 


Batu itu tak lagi hanya benda museum RA Kartini yang berada di Pusat Kota Kabupaten Jepara.


Kini menjadi pintu gerbang baru menuju pemahaman tentang peradaban Jawa kuno.


Batu yang dikenal sebagai Prasasti Candi Angin itu tengah bersiap berbicara kembali. 


Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggandeng lembaga riset Prancis bergengsi, École Française d'Extrême Orient (EFEO), untuk menyingkap kembali pesan yang terkandung di dalamnya.


Kolaborasi dua institusi ini bukan sekadar penelitian arkeologi biasa. 


Ia menjadi bagian dari proyek besar bertajuk Institusi Keagamaan di Indonesia pada Periode Awal melalui Pendekatan Epigrafis dan Filologis sebuah upaya menelusuri bagaimana agama, lembaga, dan budaya tertulis berkembang di Nusantara jauh sebelum era kerajaan-kerajaan besar dikenal dalam buku sejarah.


Prasasti Candi Angin diyakini berasal dari masa Jawa kuno, mungkin sezaman dengan munculnya kerajaan-kerajaan awal di Jawa Tengah bagian utara.


Namun, hingga kini belum ada kepastian tentang usia, isi, dan konteks sosialnya. Di situlah penelitian ini menemukan relevansinya.


“Setiap prasasti bukan hanya catatan administratif. Ia adalah potret nilai, bahasa, dan cara masyarakat memahami dunia,” kata Peneliti senior BRIN Dr Titi Surti Nastiti kepada Tribunjateng, Minggu (5/10/2025).


Timnya akan bekerja di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai 9 hingga 18 Oktober 2025, dengan pendekatan multidisipliner: epigrafi, filologi, dan dokumentasi digital.


Salah satu metode kunci yang digunakan adalah fotogrametri - teknologi perekaman tiga dimensi yang mampu menangkap setiap guratan aksara dengan ketelitian luar biasa.


Melalui ribuan foto beresolusi tinggi, tim dapat merekonstruksi bentuk permukaan batu, membaca kembali aksara yang nyaris lenyap, bahkan mendeteksi pola pahatan yang tak terlihat oleh mata telanjang.


Menurut M Irfan Mahmud, Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, metode ini memberi kehidupan kedua bagi prasasti-prasasti tua.


“Selama ini, banyak prasasti hanya didokumentasikan lewat foto dua dimensi. Fotogrametri memungkinkan kami membaca dengan lebih dalam — bukan sekadar teks, tapi juga konteks," ujar Kepala Riset Arkeologi.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved