Pada 2016, ia juga berkesempatan mengikuti pelatihan dari Dinas Lingkungan Hidup dan studi banding ke Yogyakarta.
"Harganya memang terus berubah, kardus contohnya, saat Covid itu Rp4.000 sekilonya sekarang tinggal Rp2.000 per kilo. Dari warga, saya beli Rp1.000."
"Kalau minyak jelantah, (harga) satu liter Rp3.000 terus saya jual lagi Rp5.000 ke pengepul," ucapnya.
Bank Sampah Inyong telah resmi didaftarkan ke desa sebagai aktivitas kolektif bersama.
Hasil dari sampah pun terus meningkat.
Dalam sebulan, dia bisa mengantongi hingga Rp1,1 juta per bulan atau sekitar Rp12 juta per tahun.
Semua itu hasil dari memilah dan menjual limbah rumah tangga.
Tak puas hanya menjual sampah, Nurhayatni juga berinovasi mengolahnya.
Dari minyak jelantah, ia membuat sabun, lilin, hingga pakan maggot.
Sementara, kantong kresek, dia sulap menjadi tas dan topi yang dijual Rp50 ribu per buah.
Ia juga memproduksi ecobrick dan ecoenzym untuk keperluan pertanian.
Seluruh proses dilakukan di rumah, dibantu keponakan dan anaknya yang menangani teknologi informasi dan pelaporan.
Jadi Beras Hingga Emas
Bank Sampah Inyong kini tak hanya melayani warga satu RT.
Sejak 2021, bank sampah ini menjangkau kelurahan lain, di antaranya Karanggintung dan Sumampir.
Menurut Nurhayatni, saat ini, ada sekitar 75 warga yang rutin menyetorkan sampah ke bank sampah miliknya.