"Pendidikan dokter adalah bagian dari pendidikan tinggi.
Berdasarkan UU Pendidikan Tinggi, yang berhak memberikan gelar akademik adalah perguruan tinggi.
Rumah sakit tidak punya kewenangan itu," tegas Rudi.
Ia menambahkan, rumah sakit sebagai entitas pelayanan kesehatan belum tentu mampu memenuhi standar Tridharma perguruan tinggi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Tak hanya itu, sistem hospital-based juga menimbulkan persoalan kuota.
Baca juga: Bupati Jepara Apresiasi Persijap Libas Juara Bertahan Persib Bandung 2-1 di GBK: Jaga Konsistensi
Rudi mencontohkan kondisi di Jakarta dan Bandung, satu rumah sakit digunakan bersama oleh beberapa perguruan tinggi seperti UI dan Unpad.
Akibatnya, kuota pendidikan yang mestinya bertambah justru malah bergeser.
"Faktanya, kuota mahasiswa justru berkurang dari universitas dan dialihkan ke hospital-based.
Padahal, jika tujuannya menambah tenaga dokter spesialis, semestinya jumlahnya bertambah, bukan bergeser," ujarnya.
Rudi juga menilai, secara konstitusi, UU Kesehatan tidak memiliki landasan kuat untuk mengatur pendidikan dokter karena tidak merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan sistem pendidikan nasional harus berada dalam satu kesatuan sistem.
"Pendidikan adalah urusan negara dalam sistem pendidikan nasional.
Bukan bagian dari sistem layanan kesehatan," ucapnya.
Sementara itu, anggota tim kuasa hukum pemohon, Azam Prasojo Kadar, menyatakan permohonan uji materi telah resmi diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2025.
Pihaknya menggugat Pasal 187 Ayat (4) dan Pasal 209 Ayat (2) dalam UU Kesehatan yang dianggap memuat ketentuan cacat hukum terkait penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis dan subspesialis.
"Harapan kami Mahkamah Konstitusi segera menggelar sidang agar konflik dualisme antara pendidikan berbasis universitas dan berbasis rumah sakit dapat diselesaikan," kata Azam.