"Dengan jam yang begitu lama, efeknya ke kelelahan dan psikologi anak,” lanjutnya.
Huda menyebut bahwa konsentrasi anak biasanya sudah mulai menurun drastis setelah waktu salat Dzuhur.
Alasan kedua adalah mengenai libur yang terlalu panjang di akhir pekan.
Libur pada hari Sabtu dan Minggu dinilai rawan untuk disalahgunakan oleh para siswa.
Penolakan yang tak kalah keras juga datang dari FKDT Wonosobo.
Ketua FKDT Wonosobo, Ahmad Mansur, lebih fokus pada dampak langsung terhadap pendidikan diniyah.
Ia sangat khawatir sekolah lima hari akan mengganggu jadwal mengaji secara masif.
“Wonosobo kebanyakan di pedesaan dan agamis, rata-rata ngaji bada Dzuhur," lanjutnya.
"Jam 1 mulai TPQ, jam 2 madrasah diniyah, ada juga yang malam,” rincinya.
Jika siswa baru pulang dari sekolah formal pada jam 4 sore, maka mereka tidak akan punya cukup waktu.
Tidak akan ada waktu untuk beristirahat dan juga bersiap untuk kegiatan mengaji.
Di dalam ruang rapat DPRD Wonosobo, puluhan perwakilan dari lembaga keagamaan duduk dengan tertib.
Sebagian besar dari mereka terlihat mengenakan kemeja batik dan juga peci hitam.
Mereka menyimak dengan saksama setiap paparan yang ditampilkan di layar proyektor.
Suasana di dalam ruangan tampak sangat serius, menunjukkan betapa pentingnya isu sekolah lima hari ini bagi mereka.