TRIBUNBANYUMAS.COM, UNGARAN – Angin berhembus perlahan, menyapu dedaunan yang rimbun.
Di antara desir sepoi itu, suara serangga menjadi latar alami bagi sebuah tempat yang menyimpan kisah leluhur.
Menyusuri jalan sempit dari arah Jalan Raya Ambarawa–Jambu, masuk ke Lingkungan Lonjong, Kelurahan Ngampin, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, jejak kaki membawa ke sebuah perbukitan yang terasa jauh dari hiruk pikuk permukiman.
Di situlah, berdiri tenang sebuah kompleks pemakaman kuno.
Jalan yang mendaki, gang-gang kecil yang berkelok, hingga akhirnya memasuki area perkebunan sunyi.
Namun sesampainya di sana, rasa lelah seakan terbayar lunas oleh pemandangan yang tak biasa.
Hamparan makam dengan rimbunnya vegetasi, pohon-pohon besar yang menaungi, dan jejeran pohon andong yang tumbuh hampir di setiap pusara, seolah menjadi penanda abadi kehadiran mereka yang telah berpulang.
Di tengah kompleks pemakaman itu, berdiri sebuah cungkup sederhana.
Di cungkup tersebut, terdapat makam Nyai Pedelingan, sosok yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Dusun Lonjong.
Di bawah naungannya, dua nisan tertata rapi. Nisan di sisi timur diyakini sebagai makam Nyai Pedelingan, tokoh yang dihormati dan dianggap sebagai punden, makam leluhur yang keberadaannya sakral dalam tradisi Jawa.
Bunga-bunga tersebar di atas nisan itu, satu di antaranya terletak dalam sebuah cawan.
Namun, keabadian di tempat itu kini tengah diuji.
Warisan Leluhur dan Proyek Tol Jogja-Bawen
Pemerintah merencanakan pembangunan proyek strategis nasional Tol Jogja–Bawen, dan perbukitan tempat makam Nyai Pedelingan berdiri, termasuk dalam jalur pembangunan Seksi 6, Bawen–Ambarawa.