Berita Jateng

Sidang Kasus PPDS Undip Ungkap Ada Dugaan Pungli Berkedok BOP

Para mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa

Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
istimewa
SAKSI KASUS BOP - Saksi Andriani, bendahara residen sekaligus rekan kerja dari Terdakwa dr TEN memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang PPDS Undip di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (11/6/2025). 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG -Sidang kedua kasus dugaan perundungan dan pemerasan pada program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) kembali menguak aliran uang hasil pungutan liar (pungli) berkedok biaya operasional pendidikan (BOP).

Pemeriksaan saksi dalam sidang kali ini mengambil keterangan dari Andriani, bendahara residen sekaligus rekan kerja dari Terdakwa dr TEN di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (11/6/2025). 

Andriani dalam kesaksiannya mengungkapkan, iuran BOP sudah menjadi tradisi di PPDS anestesi Undip. 

Dirinya juga pernah mengalami hal yang sama sewaktu menjadi mahasiswa PPDS angkatan 69.

Andriani pernah menyetorkan uang Rp60 juta. Namun, setiap angkatan jumlah pungutan BOP bisa bervariasi.

"Kalau tidak setor uang BOP tidak bisa ikut ujian karena tidak ada uang untuk mendaftar," katanya.

Andriani menyebut, secara formal tidak ada aturan resmi yang mengatur BOP.

Namun, pungutan BOP diketahui oleh Kepala Program Studi (Kaprodi) dan antar residen.

 "Ya tidak ada SK (Surat Keputusan) Rektor atau fakultas tapi itu kesepakatan residen," bebernya.

Baca juga: Cerita Macan Tutul Jawa Sang Penjaga Hutan Nusakambangan, Napi Kabur Siap Dimangsa

Andriani beralasan, uang BOP mencapai puluhan juta dibandingkan dengan biaya pendidikan lainnya supaya persiapan lebih matang.

Dia yang sudah menjadi bendahara residen sejak tahun 2021 itu mengungkapkan, semua pembayaran BOP dilakukan secara tunai. Tidak boleh ditransfer.

"Tidak tahu (alasan harus ditransfer)," terangnya.

Dia juga mengaku, adapula iuran lain dari para staf anestesi. Iuran itu digunakan untuk kebutuhan operasional Kelompok Staf Medis (KSM).

"Saya juga bendaharanya. Iuran itu digunakan untuk bayar admin, biaya zoom, penguji PPDS dan lainnya," paparnya.

 Dari segala iuran itu, terutama BOP, Andriani yang merupakan teman terdakwa Taufik menyebut aliran BOP tidak ada keterangan mengalir ke TEN. 

"Data Excel tidak ada (tertulis untuk TEN) kalau buku catatan saya tidak pernah lihat," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika membacakan dakwaan terhadap ketiga terdakwa.

Dalam dakwaan terhadap dua terdakwa TEN dan SM, jaksa menyebut, perbuatan para terdakwa adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 2 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.

Para tersangka dijerat pasal  tersebut lantaran diduga telah melakukan pungutan biaya operasional pendidikan (BOP) sebesar Rp80 juta peorang.

Aksi pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah selama pengumpulan dan pemanfaatan dana BOP tersebut.

Biaya resmi PPDS anestesi dan terapi intensif unimed telah ditetapkan dalam keputusan Rektor Unimed Nomor 483/UN7.TP/HK/2022, sehingga tindakan keduanya disebut merupakan pungutan liar (pungli).

"Terdakwa dr. TEN secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran BOP sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," ujar Sandhy.

Sandhy melanjutkan, uang tersebut diklaim untuk memenuhi  keperluan proposal tesis, konferensi nasional, ujian CBT (ujian komputer), jurnal reading dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya.

Para mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa TEN.

Namun, para mahasiswa takut untuk melawan. Mereka tak berdaya karena melihat posisi Eko sebagai Kaprodi.

Eko juga menciptakan persepsi ketika lancar bayar BOP maka lancar dalam proses pendidikan.

Baca juga: 3 Hutan di Banjarnegara yang Masih Dihuni Harimau, Jarang Dijamah Manusia

"Hal itu ditekankan TEN pada pertemuan dengan para bendahara angkatan," katanya.

Taufik juga diduga dalam mengumpulkan dana BOP residen menunjuk bendahara utama residen untuk mengkoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa.

Selepas terkumpul dana disetor ke terdakwa lainnya yakni SM. Oleh dia, uang dimasukan ke dalam rekening pribadi atas nama dirinya.


"Terdakwa SM menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," ungkap Sandhy.

Sandhy melanjutkan, dana miliaran rupiah itu berasal dari para residen lintas angkatan sejak tahun 2018-2023.

TEN dan SM juga menerima   sejumlah uang secara langsung dari dana tersebut.
Terdakwa TEN yang selama jabatan sebagai Kaprodi telah merima  setidak-tidaknya Rp 177 juta.

Adapun terdakwa SM mendapatkan keuntungan berupa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved