Berita Semarang

Studio Ilustrasi Semarang Diduga Lakukan Eksploitasi Pekerja, Picu Korban Hingga Ingin Bunuh Diri

Para korban mendapatkan eksploitasi baik secara fisik maupun intelektual. Korban dimanfaatkan oleh pengelola studio untuk bekerja lembur tanpa upah

Penulis: iwan Arifianto | Editor: Rustam Aji
dok Tangkapan Layar X.
EKSPLOITASI PEKERJA SENI - Tangkapan layar dari akun X @@intinyadeh yang menarasikan kasus dugaan eksploitasi para ilustrator di Kota Semarang. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Sebuah studio ilustrasi di Kota Semarang diduga melakukan eksploitasi pekerja seni ilustrator dengan berkedok komunitas.

Diduga para korban mendapatkan eksploitasi baik secara fisik maupun intelektual.

Di mana, korban dimanfaatkan oleh pengelola studio untuk bekerja lembur tanpa upah layak.

Yang lebih parah, tak hanya itu,  karya-karya korban  dijual tanpa atribusi pemilik karya.

Korban dari rumah studio ini diperkirakan mencapai puluhan orang. Mayoritas korban adalah para anak di bawah umur.

Kondisi tersebut terungkap saat salah satu korban mengungkapkannya di laman media sosial X kemudian di retweet oleh akun @intinyadeh.

Namun belakangan, utas yang diupload oleh korban sudah hilang. 

Satu korban yang Tribun Jateng hubungi, Sari (20), membenarkan praktik eksploitasi pekerja seni dalam jaringan komunitas tersebut.

Kini, sejumlah korban berencana melaporkan praktik tersebut ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Semarang dan kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

"Iya kami berencana melapor. Kami sedang mengumpulkan sejumlah bukti-bukti," katanya saat dihubungi Tribun, Sabtu (22/3/2025).

Sari mengungkapkan, pengalamannya bisa bergabung dengan jaringan komunitas tersebut bermula saat hendak mengembangkan bakatnya di bidang menggambar.

Baca juga: Bukan Provinsi Baru, Tiga Kabupaten di Batas Jawa Tengah dan Jawa Timur Bentuk Wiranegoro

Ayahnya lantas memasukkannya ke jaringan komunitas tersebut dengan biaya masuk sebesar Rp25 juta pertahun.

"Pada tahun kedua saya tidak perlu membayar karena telah diangkat menjadi karyawan di komunitas tersebut," paparnya yang meminta identitasnya disamarkan demi keamanan.

Sari mulai bekerja di tempat tersebut sejak berumur 15 tahun hingga 19 tahun atau dari tahun 2020 sampai tahun 2024.

Selama lima tahun bekerja di tempat itu, dia mendapatkan beberapa tindakan eksploitasi di antaranya beban kerja yang berlebihan.

Dia yang awalnya bekerja sebagai ilustrator diberi beban kerja tambahan di antaranya admin beberapa media sosial.

Beban kerja lainnya, dia menjadi petugas kebersihan yakni membersihkan kantor dan mencuci gelas dan piring.

Akibat dari beban kerjanya itu, dia dalam sehari hanya tidur 2-3 jam.
Adapun upah yang diterimanya jauh dari upah minimum kota (UMK) Semarang.

"Soal gaji saya awalnya menerima Rp300 ribu perbulan terus naik secara bertahap hingga terakhir bekerja di tempat itu dibayar  Rp1,75 juta perbulan,"  katanya.

Dia mengaku, bisa bertahan lima tahun di tempat itu akibat pengaruh orang-orang dalam komunitas tersebut yang menanamkan padanya bahwa mereka adalah orang yang berprestasi.

Dia sebagai korban termakan hasutan dalam ekosistem komunitas tersebut yang mana menyebut mereka yang tak kuliah saja bisa menghasilkan uang.

Kendati begitu, Sari akhirnya tidak kuat. Dia lantas memilih memeriksakan kondisi kejiwaannya.

Baca juga: Videotron Milik Pemkab Cilacap di Beberapa Lokasi Lama Mati, Ini Tanggapan Bupati Syamsul

Sebab, ketika dia bekerja sudah merasa stres akibat beban kerja yang tak ada habisnya.

Bahkan, ketika berangkat bekerja dia berulang kali muncul niatan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

"Saya memilih berobat dan hasilnya saya didiagnosa alami depresi. Selepas itu, saya keluar dari pekerjaan itu," ungkapnya.

Sari butuh waktu satu tahun untuk menyembuhkan depresinya. Dia sampai sekarang harus meminum obat untuk mengatasi sakitnya tersebut.

Dia juga kehilangan gairah dalam menggambar selama setahun ini. Semua itu akibat dari bekerja di komunitas tersebut.

"Saya akhirnya juga memilih membuat laporan kasus ini supaya mendapatkan keadilan," terangnya.

Dia meyakini ada puluhan korban lain yang terbagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama adalah para ilustrator yang karyanya dibeli dengan harga murah oleh jaringan komunitas tersebut.

Di sisi lain, mereka menjual ke pasaran dengan harga berkali-kali lipat tanpa mencantumkan nama ilustrator sebagai pemilik karya.

Kelompok korban kedua adalah ilustrator sekaligus merangkap bekerja di studio. Kelompok ini, kata Sari, korbannya sampai kena mental.

"Korban ini seperti saya  yang karena kerja langsung di tempat itu. Bertemu langsung dengan orang-orangnya yang berlangsung selama bertahun-tahun," ungkapnya.

Korban lainnya, Puspa (bukan nama sebenarnya) mengungkap, selama bekerja di jaringan rumah usaha (JRU Hub) dari Maret sampai Desember 2024 tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja seperti kontrak kerja dan jaminan sosial seperti BPJS kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dia diberi upah Rp2 juta perbulan. 

Baca juga: Sosok Almarhum Dawam Korban Kecelakaan Bus Umrah di Jeddah, Pengusaha yang Suka Berbagi

"Mereka ada upaya untuk klaim hak milik karya ilustrator padahal gaji dan tunjangan begitu minim," katanya.

Dia menemukan pula ketimpangan beban kerja antara para ilustrator dengan para petinggi studio.
Di satu sisi Ilustrator harus memeras otak untuk berkarya. Di sisi lain, para petinggi bisa bertingkah seenaknya.

"Kami ilustrator sebagai tim produksi dibebani oleh timeline pekerjaan yang melewati batas setiap harinya," katanya.

Menurutnya, korban dari jaringan studio tersebut terhitung banyak.

Hal itu berdasarkan beberapa pesan yang masuk ke akun media sosialnya.

Pesan itu masuk selepas dia memposting soal peringatan agar berhati-hati ketika membaca pamflet lowongan pekerjaan dari studio ilustrasi yang  berdomisili Semarang.

"Ada korban bernasib miris tapi takut speakup karena jaringan komunitas itu mengakar dan cukup besar di Semarang," bebernya.

Sementara, seorang ilustrator mengaku, pernah bergabung dalam jaringan studio JRU Hub.

Dia merasa iklim jaringan studio tersebut tidak sehat.

"Saya disuruh standby 24 jam untuk membalas pesan dari kantor kalau tidak seperti itu dianggap tidak komitmen," ujarnya yang meminta identitasnya disamarkan demi keamanan.

Padahal, lanjut dia, upah yang diberikan hanya sebesar Rp1,5 juta perbulan. Angka itu jauh dari UMK Semarang. "Kontrak kerja hitam di atas putih juga tidak ada," paparnya.

Sementara, Jaringan Rumah Usaha (JRU Hub) menanggapi tudingan tersebut melalui akun resmi Instagram-nya.

Pihaknya menyatakan, meminta maaf dan terbuka untuk berdiskusi lebih lanjut.

"Kami siap terbuka untuk berdiskusi dan bertanggungjawab atas kekhilafan kami secara proporsional," tulis akun tersebut.

Pihak JRU Hub juga mengundang berbagai pihak yang dirugikan untuk bertemu dan visit studio di Rumah Sasongko, Jalan Gotong Royong No.147, Tinjomoyo, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang pada Senin, 24 Maret 2025 pukul 15.00-18.30 WIB.

Baca juga: ART Asal Banyumas Babak Belur Dianiaya Majikan, Pemkab Tanggung Biaya Pengobatan

Potensi Kasus Penipuan

Menanggapi kasus itu, Koordinator Bidang Buruh LBH Semarang, M Safali mengatakan, kasus para ilustrator yang merasa dieksploitasi di salah satu jaringan studio ilustrasi di Semarang berpotensi merupakan tindakan penipuan karena memanfaatkan ketidaktahuan korban.

Potensi tindakan penipuan dapat dilihat dari korban dimanfaatkan tenaga dan karya intelektualnya demi keuntungan segelintir pemilik studio.

"Dugaan penipuan itu kian kuat ketika korban dipekerjakan tanpa kontrak kerja, BPJS tidak dibayarkan, memperkerjakan anak di bawah umur dan menjual karya mereka tanpa persetujuan," terangnya.

Menurut Safali, memberikan upah dibawah upah minimum adalah pelanggaran kategori pidana, maka perusahaan dilarang membayar upah dibawah UMK. Begitupun soal aturan lembur harus berdasarkan  kesepakatan pekerja atau setidak-tidaknya dapat surat perintah lembur (SPL).
"Bekerja diluar jam kerja maka dianggap kerja lembur maka wajib diberikan upah lembur dan hak normatif lainnya," terangnya. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved