Hikmah Ramadan oleh Menteri Agama

Merawat Kemabruran Puasa: Menebar Energi Positif, Kunci Meraih Kebahagiaan

Penampilan yang ceria, tutur kata yang indah, dan akhlak yang santun akan menumbuhkan simpati orang lain.

Editor: Rustam Aji
istimewa/TRIBUNNEWS
MENTERI AGAMA - Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA 

MENEBARKAN energi positif bagian dari misi suci Ramadan.

Perbuatan yang menyedot energi orang seperti riya dan ambsi berlebihan termasuk contoh menyedot energi orang lain sekaligus berarti menebarkan energi negatif.

Kemampuan seseorang untuk meraih simpati, respek, cinta, dan empati orang lain adalah salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Inti silaturrahim sesungguhnya tidak lain adalah untuk saling membahagiakan satau sama lain.

Penampilan yang ceria, tutur kata yang indah, dan akhlak yang santun akan menumbuhkan simpati orang lain. Begitu pentingnya kelemah-lembutan itu maka Rasulullah SAWpernah bersabda:

“Barangsiapa tidak diberi kelemahlembutan, maka dia telah terhalang dari semua kebaikan.” Seorang bijak pernah mengatakan: “Kelemahlembutan itu mampu menarik ular keluar dari liangnya.” Orang bijak lain mengatakan: “Ambillah madunya, tapi jangan merusak sarangnya.”

Jika seseorang secara konsisten mampu menjalani kehidupannya penuh dengan kelemahlembutan maka bukan saja mendatangkan kebahaagiaan permanen di dalam diri dan keluarganya tetapi segenap lingkungan masyarakat tempat ia berdomisili juga merasakan kebahagiaan itu.

Orang-orang seperti ini mampu mengalirkan energy positif ke dalam lingkungan komunitasnya. Entah itu di kantor, di lingkugan perumahan, atau di pusat-pusat ibadah setempat.

Baca juga: Merawat Kemabruran Puasa: Lebih Banyak Diam Bisa Terbebas dari Fitnah dan Marabahaya

Orang-orang seperti ini sering dikatakan: Kepergiannya adalah kehilangan dan kehadirannya adalah kebahagiaan. Berbeda dengan orang-orang kebalikannya, yang karakternya selalu menebar energy negative di lingkungannya, sering dikatakan: Datang tidak menguntungkan prgi tak mengurangi. Bahkan ada orang yang: “Kepergiannya Alhamdulillah dan kedatangannya inna lillah”.

Dalam era masyarakat modern, kepemimpinan masyarakat sudah meninggalkan era kepemimpinan tradisional, dimana pimpinan lebih ditentukan oleh tokoh dan figur tradisional, yang secara turun temurun diakui ketokohannya di dalam masyarakat.

Pola regenerasi dan suksesinya juga dengan cara tradisional, yaitu diwariskan secara turun
temurun kepada keturunan mereka atau pemilik ‘darah biru’.

Namun dalam era masyarakat modern seperti sekarang ini, pola kepemimpinan masyarakat sudah lebih terbuka, artinya siapapun secara obyektif memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu yang ditetapkan secara terbuka, maka itulah yang akan meraih tiket pemimpin masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat demokratis menghendaki pemimpin yang dicintai secara umum di dalam
masyarakat.

Sungguh pun bukan bangsawan tetapi kala ia mampu neraih simpati masyarakat maka dialah yang akan terpilih sebagai pemimpin.

Meraih simpati sebagai kunci untuk meraih segala-galanya di dalam masyarakat, sudah lama dicontohkan Nabi.

Itulah sebabnya Nabi tidak pernah berwasiat kepada anggota keluarga dekatnya untuk menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan.

Kenyataan sejarah Khulafaur Rasyidin juga demikian. Tidak ada satu pun di antara keempat khalifah itu mewariskan pemerintahannya kepada anggota keluarga terdekatnya.

Baca juga: PSIS Tidak Aman, Bisa Terpeleset ke Zona Degradasi, Sang Pelatih dalam Tekanan

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved