Dokter Residen Meninggal

Babak Baru Kasus Kematian Dokter Risma Aulia, Diyakini Bukan karena Bunuh Diri

Korban menggunakan obat roculax lantaran alami saraf terjepit selepas jatuh dari selokan hingga dioperasi sebanyak 2 kali. 

|
Penulis: iwan Arifianto | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS/FAJAR BAHRUDDIN ACHMAD
Makam dr Aulia Risma Lestari di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Panggung, Kota Tegal, Kamis (15/8/2024). Aulia ditemukan meninggal di kamar kos di Kota Semarang, diduga nekat mengakhiri hidup setelah menjadi korban perundungan senior saat residen di RSUP Dr Kariadi Semarang. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG -Kuasa hukum keluarga mendiang dr Aulia Risma, Misyal Achmad membantah almarhumah Aulia Risma melakukan bunuh diri.

Dia menyebut di kamar korban  ditemukan dua obat roculax yakni obat menghilangkan rasa sakit dan satu obat lainnya untuk melemaskan tubuh secara keseluruhan. 

Obat jenis kedua ini memang yang bisa menyebabkan kematian.  

Namun, obat itu masih utuh. Artinya, korban menggunakan obat yang pertama. 

"Korban pakai obat hanya menghilangkan rasa sakit. Bukan obat yang melemaskan secara keseluruhan sehingga kami yakin almarhumah mati tidak bunuh diri," katanya di Mapolda Jateng, Kamis (5/9/2024).


Korban menggunakan obat roculax lantaran alami saraf terjepit selepas jatuh dari selokan hingga dioperasi sebanyak 2 kali. 

Obat itu sedianya digunakan sebagai peredam rasa sakit yang dialami korban. 

Korban juga mengalami kelelahan luar biasa ketika menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) dan sedang praktik di RSUP Kariadi Semarang.

Baca juga: Pendaftaran CPNS 2024 Diperpanjang Hingga 10 September, Jangan Daftar Mepet Waktu Penutupan!


Menurutnya, korban kelelahan karena setiap hari harus melayani para seniornya mulai dari mengangkat galon, menyiapkan ruang operasi, menyiapkan makan untuk seniornya yang sampai 80 boks dengan menu yang berbeda-beda.


"Korban kerja dari jam 3 pagi sampai besoknya pukul 01.30 dini hari. Dunia militer saja tidak seperti itu. Frekuensi kerja tersebut setiap hari bukan seminggu sekali," terangnya.


Dia juga menyinggung soal penyelesaian kasus ini sebenarnya perlu melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek). 

Sebab, kasus ini bagian dari bobroknya sistem pendidikan kedokteran di Indonesia.

"Menempa dokter seperti preman bagaimana bisa mendapatkan dokter yang memiliki empati kepada pasien?, kasus ini harus diputus mata rantainya dan yang harus bertanggung jawab Kementerian Pendidikan (Kemdikbud Ristek)," katanya.


Untuk mencegah korban lainnya, Misyal mendorong keluarga korban untuk melaporkan kasus ini ke polisi meskipun banyak intimidasi. 

Di sisi lain, dia mendorong para korban lainnya untuk berani ikut melaporkan.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved