Berita Banjarnegara
Kisah Menyentuh Komunitas Difabel Netra di Banjarnegara, Rutin Pengajian hingga Rajin Berderma
Dari hasil jasa pijat tuna netra itu lah, mereka bisa mandiri, bahkan berbagi kepada sesama yang membutuhkan.
TRIBUNBANYUMAS.COM, Keterbatasan fisik tidak menjadi halangan bagi para disabilitas netra di Kabupaten Banjarnegara untuk berbagi.
Meski mata tak bisa melihat, hati mereka ternyata terang benderang. Para tuna netra ini rela menyisihkan sebagian penghasilannya untuk menyumbang ke orang yang padahal tak terlihat oleh mata mereka.
Solidaritas mereka juga sangat kuat, melebihi masyarakat yang tak berketerbatasan.
Buktinya, setiap bulan, sekitar 67 disabilitas netra di kabupaten itu rutin mengadakan pertemuan bertajuk arisan.
Meski fisiknya terbatas, mereka tak lantas berpangku tangan atau berharap belas kasih orang untuk memenuhi kebutuhan. Mereka rata-rata telah dibekali keterampilan, terutama pijat.
Mata memang tak bisa melihat, namun tangan mereka mampu merasakan dimana titik tubuh manusia yang perlu dipijat.
Baca juga: Sosok Imam Hambali di Balik Insafnya Anak Punk hingga Berdikari di Banjarnegara, Arief Jadi Pelukis
Dari hasil jasa pijat tuna netra itu lah, mereka bisa mandiri, bahkan berbagi kepada sesama yang membutuhkan.
“Arisan setiap bulan, bergantian di rumah anggota. Mereka biasanya ke tempat pertemuan diantar orang atau keluarga,”kata Kiai Imam Hambali, Penyuluh Agama honorer di Kantor Urusan Agama (KUA) Mandiraja Banjarnegara

Yang membuat Hambali takjub adalah solidaritas mereka. Setiap kali pertemuan, hampir selalu seluruh anggota datang meski mereka terkendala akses dan transportasi.
Setiap pertemuan, mereka menyetor uang untuk arisan sebesar Rp 100 ribu. Di luar itu, mereka menyisihkan uang Rp 20 ribu yang digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk berbagi atau social.
Padahal, penghasilan mereka dengan keterbatasan fisik tidak menentu.
“Kalau memijat paling dikasih Rp 30 sampai 50 ribu. Itu pun tidak mesti ada job, kadangs sehari cuma satu,”katanya
Butuh Bimbingan Rohani
Kehadiran Hambali disambut positif oleh komunitas itu. Para disabilitas itu memang butuh siraman rohani untuk meneguhkan keimanan di kalbu. Maklum, dengan keterbatasannya, mereka juga terhambat untuk bisa mengakses pendidikan agama.
Pada pertemuan arisan setiap bulan, Hambali memodifikasinya dengan menambahkan sesi pengajian atau tahlilan. Jadi lah pertemuan bulanan itu sekaligus ajang untuk memperdalam ilmu keagamaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.