Berita Jateng

Kreatif, Karakter Ganjar Mejeng di Diorama 3 Dimensi Tour de Borobudur

Total ada delapan maskot yang nantinya juga digunakan sebagai trofi bagi para pemenang gelaran Tour de Borobudur.

ist
Diorama tiga dimensi yang berisikan ikon unik khas dari berbagai daerah di Indonesia. Pembuatan diorama ini terinsipirasi dari tema Tour de Borobudur Unity in Diversity. Ikon ini juga rencananya untuk trofi gelaran internasional di Borobudur tersebut. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Eduard Chris Yonata mencoba menerjemahkan tema Tour de Borobudur XXIII ‘Unity in Diversity’ dalam bentuk diorama tiga dimensi.

Total ada delapan maskot yang nantinya juga digunakan sebagai trofi bagi para pemenang gelaran internasional yang digelar 5-6 Agustus 2023 ini.

Delapan maskot tersebut merupakan ikon budaya dari sejumlah wilayah di Indonesia.

Yakni Reog, Ondel-ondel, Hudoq, Coka Iba, Barong, Wolay, Topeng Raja Ampat, dan Sigalegale.

Baca juga: Doa KH Ubaidillah Dar Al Tauhid Cirebon untuk Ganjar, Begini Kesaksian Santri

proses pembuatan diorama 3 dimensi ganjar
Proses pembuatan diorama tiga dimensi yang berisikan ikon unik khas dari berbagai daerah di Indonesia. Pembuatan diorama ini terinsipirasi dari tema Tour de Borobudur Unity in Diversity. Ikon ini juga rencananya untuk trofi gelaran internasional di Borobudur tersebut.

"Sebenarnya ada banyak tradisi atau budaya lain di Indonesia Timur yang ingin saya masukkan dalam ikon ini.

Tapi karena literasi tentang budaya itu masih sangat minim, jadi perlu riset sendiri," ucap Yonata ketika dihubungi, Senin (31/7/2023).

Secara umum, delapan ikon yang dijadikan maskot Tour de Borobudur XXIII ini sudah menggambarkan tema ‘Unity in Diversity’.

Di setiap ikon, Yonata juga menyelipkan karakter Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang digambarkan ramah dan mudah berinteraksi dengan masyarakat.

Bahkan di ikon Ondel-ondel, Ganjar menjadi bonek khas Betawi tersebut.

Baca juga: Unik! Orang Muda Ganjar Jawa Tengah Gelar Recycle Costume Fashion Show di Wonosobo

“Ini menggambarkan jika Pak Ganjar sangat dekat dengan masyarakat dan peduli dengan budaya,” tuturnya.

Beberapa ikon, mungkin kurang familiar di telinga.

Seperti Coka Iba dari Maluku Utara, atau Wolay-nya Sulawesi Utara.

Meski dua ikon budaya tak begitu santer terdengar secara nasional, Yonata tetap memilihnya.

Pasalnya, karena kedua budaya tersebut menyimpan filosofi yang dirasa luar biasa.

Coka Iba merupakan sebuah ritual religi yang kerap dilakukan masyarakat Kabupaten Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara untuk memeringati Maulud Nabi Muhammad SAW.

Dalam ritual tersebut, para pemain Coka Iba mengenakan topeng dengan karakter yang berbeda-beda.

Sementara Wolay merupakan tradisi asli daerah Poopo.

Poopo adalah sebuah desa di kecamatan Ranoyapo, Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Mayoritas warga Desa Poopo merupakan petani.

Baca juga: Ihwal Kelanjutan Program Jokowi Hilirisasi Mineral, Ganjar: Harus Kita Teruskan

Zaman dulu, nyaris semua petani setempat merasa terganggu dengan keberadaan moyet/yaki atau yang biasa disebut wolay.

Para petani kemudian mebuat semacam orang-orangan sawah untuk mengusir yaki tanpa menyakiti.

Kini, Wolay digaungkan untuk melindungi populasi yaki yang terancam punah lantaran kerap diburu untuk dijadikan bahan makanan.

Diorama 3 Dimensi

Tak sekadar gambar, maskot Tour de Borobudur XXIII diwujudkan dalam bentuk diorama 3 dimensi.

Delapan ikon tersebut direalisasikan dengan bahan dasar epoxy clay.

Yonata sengaja memilih bahan epoxy clay karena sifatnya yang kokoh ketika benar-benar kering.

Nyaris seperti plastik, tapi keras.

Sayang, membangun diorama dari epoxy clay terbilang rumit.

Baca juga: Santri Ganjar Jateng Berdayakan Emak-emak di Pemalang, Bikin Hantaran Sederhana Jadi Cuan

Hingga Yonata harus melibatkan lima orang untuk membuatnya.

Salah satunya seniman clay asal Surabaya, Perta Dewi Handayani.

Sementara yang lainnya adalah siswa SMP Kristen Tritunggal Semarang.

Joany Lidya Putri Samosir, Maisa Devina Nugroho, Fellicia Chelsea Ardian, dan Gracelyn Christy Prayitno

Meski digarap enam orang, itu pun memakan waktu dua bulan hingga proyek diorama maskot Tour de Borobudur XXIII dinyatakan finsih.

Yonata mengaku, pembuatan diorama ini sudah dikebut, sampai rela dikerjakan hingga dini hari.

Tak heran jika Yonata memakan waktu dan tenaga ekstra.

Sebab, maskot yang dibuatnya terbilang sangat detil.

Berukuran sekira 8-9 centimeter, ikon ini juga disiram warna-warni yang sangat teliti.

Pewarnaannya pun butuh tiga tahap agar terlihat realistis.

“Memang perjuangannya ekstra.

Sebenarnya ada bahan lain yang lebih mudah dibentuk.

Tapi nanti tidak awet.

Jadi agak rumit sedikit tidak apa-apa karena nantinya ini akan jadi piala bagi para pemenang Tour de Borobudur di setiap kategori,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yonata berharap peserta, masyarakat, bahkan pemerintah bisa mengartikan pesan yang ada di dalam maskot Tour de Borobudur XXIII ini.

“Salah satunya, saya berharap pemerintah sadar, ada ikon budaya di wilayah Indonesia Timur yang sangat bagus, tapi jarang diekspos.

Apalagi dikembangkan menjadi atraksi seni.

Semoga ini benar-benar bisa mewujudkan unity in diversity di Indonesia,” harapnya. (*)

Baca juga: Ngobrol dengan Wali Murid di Tegal, Pena Mas Ganjar Sosialisasikan Pentingnya Pendidikan Anak

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved