Berita Jateng

Dua Warga Sumberejo Semarang Orasi di Depan Polda Jateng, Tanahnya Diserobot untuk Tanah Urug Tol

Dua lansia berorasi di depan kantor Polda Jateng, Selasa (7/3/2023). Mereka mengeluhkan penyerobotan tanah untuk tanah urug proyek Tol Semarang-Solo.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: rika irawati
ISTIMEWA
Yanti, warga asal Sumberejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, melakukan orasi pengaduan terkait penyerobotan tanah miliknya, di depan Polda Jateng, Kota Semarang, Selasa (7/3/2023). Menurut mereka, tanah keluarga seluas sekira 2.790 meter dikeruk untuk tanah uruk proyek Tol Semarang-Solo. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Dua lansia yang merupakan ibu dan anak, Siyem (78) dan Yanti, melakukan orasi di depan kantor Polda Jateng, Selasa (7/3/2023).

Ditemani sejumlah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mereka mengeluhkan penyerobotan tanah untuk tanah urug proyek tol Semarang-Solo.

Mereka juga membawa spanduk berisi kronologi penyerobotan tanah itu.

Kedua wanita tersebut merupakan warga asal Sumberejo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.

Tanah mereka berkontur perbukitan seluas sekira 2.790 meter, dikepras hingga landai.

Tanah ribuan meter itu menghasilkan 3.993 truk tanah urukan yang disetor ke proyek tol.

Namun, Yanti dan keluarga tidak mendapatkan uang sepeserpun.

“Awalnya, ada yang ngontrak lahan bapak saya, lalu ditanami tebu. Tapi malah diserobot dan langsung dikeruk untuk Tol Semarang-Solo," tutur Yanti.

Baca juga: SMPN 16 Semarang Bakal Direlokasi ke Samping Pizza Hut Ngaliyan, Tergusur Proyek Tol Semarang-Batang

Baca juga: Rumah Warna Hijau Masih Tegak di Dekat Proyek Tol Solo-Yogya di Klaten, Pemilik Belum Sepakati Harga

Ia mengaku, ada empat sertifikat tanah milik keluarga yang diserobot orang lain.

Keempat sertifikat tersebut berada di Desa Ujung-Ujung, yakni SHM nomor 38 atas nama ayahnya bernama Sumali, SHM 39 atas nama Rudi, SHM 81 atas nama Harno, dan SHM 105 atas nama ibunya, yakni Siyem.

Ia mendapatkan tanah-tanah tersebut dari negara, berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Jateng Nomor SK.DA.II/HM/2155/28/1979 tanggal 15 Februari 1979.

"Karena secara fakta, kami adalah petani penggarap tanah negara untuk berkebun,” imbuhnya.

Menurut Yanti, Kasus itu bermula saat tahun 2010, keluarganya mendapat fotokopi SHM atau surat bukti kepemilikan tanah atas nama mereka.

Namun, fotokopi itu diminta perangkat desa dengan dalih untuk pendataan.

"Tahun 2015, tanah kami dikuasai oleh Sumardiyanto, padahal kami tidak pernah merasa menjualnya," bebernya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Banyumas
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved