Berita Semarang
Jejak Tragedi G30S PKI di Kota Semarang: Kuburan Massal Berisi 24 Jenazah, Hanya 8 yang Dikenal
Jejak pembantaian G30S PKI terekam di Kota Semarang lewat kuburan massal para korban, di Dukuh Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG - Jejak pembantaian G30S PKI terekam di Kota Semarang dalam bentuk kuburan massal para korban.
Kuburan tersebut sempat diberi perhatian lebih oleh para pegiat HAM dengan memberikan nisan bertuliskan nama-nama para korban yang terdeteksi, pada 1 Juni 2015.
Sayangnya, kuburan massal yang mendapatkan status situs sejarah korban perang dari UNESCO itu, kini tak terurus.
Berada di lokasi cukup tersembunyi di perbukitan area Perhutani di dukuh Plumbon, Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, kuburan massal ini tak banyak diketahui awam.
Lokasi ini bisa dijangkau dari Gang Plumbon 3, arah kiri setelepas Pasar Mangkang, bila dari arah Tugu Muda, Kota Semarang atau dari arah timur.
Lurus saja sekitar dua kilometer maka pemakaman massal ini bisa ditemukan.
"Iya, makam massal ini memang sudah tidak terawat. Saya pribadi kadangkala saja membersihkan," ujar Ahmad Khamim (83), warga sekitar lokasi, Kamis (29/3/2022).
Baca juga: Cerita Dibalik Kamp Isolasi Gerwani Era G30S di Batang: Sukarni Kecil Suka Nonton Mereka Main Wayang
Baca juga: Adegan Penyiksaan Para Jenderal di Film G30S/PKI, Pakar Sejarah UGM: Itu Cacat Fakta
Menurutnya, makam tersebut tempat dikuburnya para korban PKI.
Di area itu, terdapat tiga lubang besar yang berjarak berdekatan.
"Ada tiga lubang tapi yang dikenal hanya delapan orang yang tertulis di papan nisan itu, lainnya tidak tahu," ungkapnya.
Tujuh tahun silam, para aktivis HAM , pegiat sejarah, dan pihak-pihak lain, meletakkan nisan sebagai pengingat.
Nisan setinggi hampir satu meter itu memuat nama delapan orang yang diyakini terkubur di dalamnya, dan berhasil ditelusuri.
Namun, tinta hitam yang menunjukkan nama-nama itu, kini juga mulai pudar.

Area kuburan massal ini dipagari batu bata setinggi sekira 50 sentimeter. Pagar tersebut juga mulai tak terlihat lantaran tertutup daun jati dan semak belukar.
Terpisah, Aktivis kemanusiaan dan penggiat HAM dari Perkumpulan Masyarakat Semarang, Yunantyo Adi mengatakan, dirinya mendapatkan informasi awal adanya makam itu dari mahasiswa Unika Soegijapranata Semarang pada Juni 2014.
Pihaknya mulai tergerak merawat kuburan massal itu, September 2014.
Selepas lobi berbagai pihak, selama delapan bulan lebih, kuburan massal itu berhasil diresmikan.
"Diresmikan ramai-ramai pada 1 Juni 2015 bertepatan dengan hari Lahir Pancasila, melibatkan pemerintah, TNI-Polri, Ormas, keluarga korban dan lainnya," katanya.
Peresmian kuburan massal itu ternyata menarik perhatian semua pihak.
Di antaranya, organisasi dibawah naungan UNESCO bernama The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH), menobatkan makam itu sebagai situs sejarah korban perang.
UNESCO menilai, pemakaman itu sebagai situs pelanggaran berat HAM masa lalu yang memperoleh perlakuan orang zaman sekarang dengan berbeda, yang dianggap memiliki nilai edukasi.
"Plumbon dijadikan memori situs CIPDH UNESCO. Kami dihubungi lewat email 1 Mei 2019, dinyatakan resmi awal Januari 2020," terangnya.
Warga, ketika peresmian itu, sangat membantu.
Bahkan, sepekan sebelum peresmian, warga bergotong-royong membersihkan jalan hingga mendirikan tratak untuk acara.
"Peresmian, ketika itu, sudah kayak acara pernikahan," terangnya.
Memang, sempat ada orang yang menghubungi supaya membatalkan kegiatan peresmian kuburan itu.
Namun, seara keseluruhan, acara berjalan lancar.
"Ajaib saja, acara itu berlangsung baik-baik saja, tak ada yang mengganggu," ungkapnya.
Keluarga Korban
Yunantyo mengaku, para keluarga korban yang terkubur di kuburan massal itu ikut diundang dalam kegiatan peresmian pemakaman.
Terungkapnya siapa korban yang berada dikuburkan itu berkat penelusuran para kolega, seperti Mbah Mohkran dan Mbah Giri.
Baca juga: 3 Orang Jadi Tersangka Kasus Pengeroyokan yang Melibatkan Driver Ojol di Semarang
Baca juga: Duel dengan Pencuri, Kadus Ngrawan Kabupaten Semarang Alami Luka Tusuk di Perut dan Punggung
Mbah Mohkran sempat ditahan di lapas Kendal selama tiga tahun.
Selepas itu, pindah ke Mangkang Kulon yang jaraknya tak jauh dari kelurahan Wonosari.
Ketika menetap di wilayah itu, ia bertanya kepada para petugas keamanan Desa Wonosari untuk menanyakan siapa saja yang dieksekusi di lahan perhutani Plumbon.
Eksekusi dilakukan Januari 1966, selepas musim hujan dan Hari Raya Idul Fitri.
"Mbah Mohkran hanya dapat nama delapan orang, semua korban dari Kendal," ungkapnya.
Sebenarnya, korban berjumlah 24 orang, semuanya tercatat oleh warga.
Namun, orang yang mencatat itu sudah meninggal dunia sedangkan sang istri, sudah pindah, sehingga catatan itu kini entah di mana.
"Paling diingat adalah satu-satunya korban perempuan bermana Moetiah dan wakil Bupati Kendal kala itu, Soesatjo," bebernya. (*)
Baca juga: Mobil Aktivis Forum Pekalongan Bangkit Ditembak Orang Tak Dikenal, Begini Kronologinya
Baca juga: Penertiban Pedagang Daging Ayam Potong di Majenang Cilacap, Warga: Belum Ada Sebulan di Tepi Jalan
Baca juga: 15 Lukisan Jenderal Soedirman Bakal Dipamerkan Keliling di Purbalingga, Berikut Lokasi dan Jadwalnya
Baca juga: Jaksa Agung Burhanuddin Jamin Profesional Tangani Kasus Ferdy Sambo, Pastikan Tak Ada Lobi-lobi