Berita Banjarnegara Hari Ini
Di Somawangi Banjarnegara Inilah, Emak-emak Bikin Kerajinan Tikar Pandan, Begini Cerita Mereka
Ibu rumah tangga seperti Sutinem masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk mengasuh anak di sela aktivitasnya membuat tikar.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: deni setiawan
TRIBUNBANYUMAS.COM, BANJARNEGARA - Memasuki Dukuh Mawangi, Desa Somawangi, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara tanaman pandan berduri tumbuh rimbun di kebun warga.
Tanaman hijau ini bukan untuk dikonsumsi, melainkan diambil daunnya untuk kerajinan.
Daunnya yang panjang cocok untuk dibentuk aneka kerajinan, seperti tikar.
Hamparan tanaman pandan itu telah jadi sumber penghidupan warga sekitar.
Baca juga: Cerita Penyuluh Agama di Mandiraja Banjarnegara Bimbing Mualaf: Bikin Pengajian Rutin Tiap Jumat
Baca juga: Pasar Darurat Sudah Siap Ditempati, Lokasinya di Stadion Soemitro Kolopaking Banjarnegara
Baca juga: Mengintip Aktivitas Menulis Alquran di Ponpes Mumtaza Banjarnegara, Cara Tepat Ubah Perilaku Santri
Baca juga: Wisatawan Bisa Ngabuburit di Kawah Sikidang Dieng, Dinparbud Banjarnegara: Tetap Buka Selama Ramadan
Petani biasa memangkas daun pandan di kebun lalu mengikat dan membawanya pulang.
Di rumah, para ibu rumah tangga sudah menanti kedatangan bahan itu untuk diproses.
Butuh proses panjang sampai produk tikar halus siap dipasarkan.
Sutinem (31) warga Rt 02 Rw 07 Desa Somawangi, Kecamatan Mandiraja, mulanya membersihkan duri-duri tajam yang melindungi tanaman itu.
Dia lantas mengupas permukaan daun itu agar lebih halus.
Ini belum apa-apa.
Ia masih harus membelah daun itu sesuai ukuran yang diinginkan menggunakan senar.
"Pandannya menanam di kebun sendiri," katanya kepada Tribunbanyumas.com, Jumat (16/4/2021)
Sutinem lalu menjemurnya di bawah terik matahari selama sekira dua hari.
Setelah kering, barulah ia bisa membentuk bahan alam itu menjadi kerajinan.
Dari tangan terampil Sutinem, daun berduri itu disulap menjadi tikar halus yang siap dipasarkan.
Sutinem sudah puluhan tahun menjalani pekerjaan itu.
Ia mendapat keterampilan secara turun temurun.
Orangtuanya adalah petani sekaligus pengrajin pandan.
Mereka juga mendapatkan keterampilan itu dari orangtuanya.
Hingga ia tak tahu sejak kapan dan siapa yang mengawali tradisi menganyam pandan di daerahnya.
"Ini sudah ada sejak zaman nenek moyang," katanya.
Nyatanya tradisi itu masih bertahan sampai sekarang.
Ini menunjukkan kebutuhan tikar tradisional itu tidak lekang oleh zaman.
Usaha rumah tangga itu cukup membantu pemenuhan kebutuhan.
Saat para lelaki sibuk berladang, ibu-ibu rumah tangga sibuk menganyam.
Terlebih, pekerjaan itu bisa disambi.

Ibu rumah tangga seperti Sutinem masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk mengasuh anak di sela aktivitasnya membuat tikar.
"Buat tikar itu duitnya (hasilnya) cepat, bisa disambi momong," katanya.
Dalam sehari, ia bisa menyelesaikan satu tikar yang dijual seharga sekira Rp 30 ribu.
Meski tak seberapa, hasil itu lumayan untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai petani.
Ia bukan satu-satunya pengrajin di Desa Somawangi.
Di kampungnya, banyak perempuan yang menjalani profesi serupa.
Tikar yang mereka hasilkan ditampung oleh pengepul, lalu dibawa ke kota untuk dipasarkan.
Di luar kota semisal Jakarta, tikar itu biasa dipakai untuk alas atau pembungkus mayat.
Tapi tikar itu bisa juga dipakai untuk alas duduk atau tiduran selayaknya tikar pada umumnya.
Tetapi anehnya, di masa pandemi Covid-19, saat angka kematian tinggi, bisnis tikar pandan justru lesu.
Sutinem berucap, harga tikar pandan saat pandemi jatuh, dari mulanya Rp 45 ribu.
"Sekarang turun karena pandemi."
"Orang yang mati karena Covid-19 ternyata tidak dibungkus pakai tikar pandan," katanya. (Khoirul Muzakki)
Baca juga: Hafal Pancasila dan Lir Ilir, 10 Jemaah Tarawih di Pengaringan Kebumen dapat Hadiah Uang dari Bupati
Baca juga: Rekonstruksi Kasus Pembacokan dan Pembunuhan di Kebumen, Kedua Tersangka Peragakan 27 Adegan
Baca juga: Kedua Tersangka Sudah Jual 30 Surat Bebas Covid-19, Harga Rp 200 Ribu, Sasar Sopir Truk di Cilacap
Baca juga: Istri Kaget Lihat Gaji Pertama Saya, Biasanya Sehari Rp 5 Juta, Cerita Pengusaha Jadi Bupati Cilacap