Teror Virus Corona

66 Jurnalis di Surabaya Positif Covid-19 Dua Meninggal, Ini 3 Hal yang Mendesak Dievaluasi

66 Jurnalis di Surabaya Positif Covid-19 Dua Meninggal, Ini 3 Hal yang Mendesak Dievaluasi

Istimewa/net.
Ilustrasi jurnalis / pekerja media sedang wawancara di lapangan - Kasus 66 jurnalis di Surabaya dinyatakan positif Covid-19, di mana dua di antaranya meninggal dunia, mengundang keprihatinan sejulah pihak. AJI Surabaya menilai dengan klaster baru jurnalis ini, ada tiga pihak yang mendesak untuk dievaluasi. 

"Kalau AJI lihat ada banyak sekali hal-hal yang masih muncul pengabaian, misalnya banyaknya acara seremonial yang diselenggarakan para pejabat ini," kata dia.

Perilaku para pejabat yang seringkali menggelar acara seremonial tersebut, dinilai bukan bagian dari informasi yang penting bagi publik dan tak perlu diliput oleh jurnalis.

"Ada banyak sekali pemberitaan soal seremonial, apa untungnya bagi publik, apa publik teredukasi dengan gaya pejabat yang narsis, yang ingin setiap hari masuk layar TV, di koran, di media? Ini menunjukkan mereka seolah-olah sudah bekerja dengan baik," ujar dia.

Kegiatan seremonial semacam itu, kata Faridl, bisa tetap diberitakan oleh media, tanpa jurnalisnya perlu melakukan peliputan secara langsung, hingga membahayakan keselamatannya sendiri.

Acara-acara seremonial yang mendatangkan banyak massa, termasuk jurnalis di dalamnya, menurut Faridl sangat berpotensi membahayakan dan bisa memunculkan risiko penularan Covid-19.

Penularan Covid-19 bisa terjadi kepada pejabat itu sendiri dan juga para jurnalis yang meliput kegiatan seremonial tersebut.

"Apa buktinya? Buktinya ada banyak pejabat yang terkonfirmasi positif Covid-19, bahkan ada yang meninggal, ada banyak jurnalis yang terkonfirmasi positif dan kemudian juga ada yang meninggal," kata dia.

Protokol keselamatan liputan Faridl mengutarakan hal lain yang perlu dievaluasi adalah otoritas perusahaan media.

Berdasarkan laporan yang ia terima, Faridl menyebut ada banyak jurnalis yang ternyata masih terus ditugaskan ke lapangan, meski obyek yang diliput mengabaikan protokol keselamatan dalam peliputan.

"Mereka (para jurnalis) tidak ada pilihan."

"Ketika harus melakukan peliputan, entah itu peliputan yang melanggar protokol keselamatan, atau liputan tak penting yang sifatnya seremonial, dia tidak memiliki kuasa yang cukup terhadap dirinya dan keselamatannya, jadi tidak didukung oleh perusahaannya," ujar dia.

AJI mendorong perusahaan-perusahaan media untuk membuat dan menerapkan protokol keselamatan dalam peliputan, baik untuk jurnalis di lapangan, maupun pekerja media yang ada di dalam kantor.

"Kalaupun mereka tidak memiliki kemampuan untuk membuat protokol keselamatan dalam peliputan, mereka bisa mengadopsi apa yang sudah disusun AJI dan Komite Keselamatan Jurnalis," kata dia.

Menurut Faridl, perusahaan media sebenarnya punya bargaining untuk mendesak institusi baik swasta maupun pemerintah agar mengikuti protokol keselamatan dalam peliputan.

"Perusahaan media punya power untuk mengoreksi sekian banyak kebijakan, yang berkaitan dengan peliputan, yang tidak berbasis pada kepentingan keselamatan bersama," kata Faridl.

Jurnalis bersikap abai

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved