Berita Tegal
Makna Tradisi Nyekar Bagi Warga Tegal, Cara Orangtua Kenalkan Leluhur untuk Anak-anaknya
Meski Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona atau Covid-19, masyarakat di Kota Tegal tidak sungkan untuk tetap melakukan nyekar.
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: deni setiawan
TRIBUNBANYUMAS.COM, TEGAL - Gema takbir Hari Raya Idulfitri menggema di seantero Nusantara diiringi senyum sumringah warga Muslim.
Dari masjid dan musala terdengar takbir, ‘Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar.. la ilaha illallahu wallahu akbar.. Allahu akbar walillahil hamd’.
Seusai menunaikan salat Idulfitri, masyarakat kemudian berbondong- bondong mendatangi makam orangtua dan keluarga.
• Kades Bongkar Paksa Posko Covid-19, Alasannya Demi Hindari Bentrok dengan Warga
• Alvin Lee Saksikan Balon Udara Jatuh di Bandara Ahmad Yani Semarang, Diduga Terbang dari Purworejo
• Balita Empat Tahun Masuk Klaster Cempaka, Tambah Enam Pasien Positif Corona di Sidorejo Salatiga
• Suhu Kota Semarang Terasa Sangat Panas Hari Ini, Simak Penjelasan BMKG
Suasana ramai itu terlihat di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cleret, Kelurahan Randugunting, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, Sabtu (24/5/2020).
Tradisi ziarah tersebut dalam masyarakat Jawa dikenal dengan tradisi nyekar.
Meski Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona atau Covid-19, masyarakat di Kota Tegal tidak sungkan untuk tetap melakukan nyekar.
Sejarawan Pantura, Wijanarto mengatakan, masyarakat di wilayah Pantura Barat Jawa Tengah memaknai tradisi nyekar sebagai momen silaturahmi.
Yakni antara mereka yang hidup kepada yang telah meninggal dunia.
Jika silaturahmi berkunjung kepada keluarga dan handai taulan yang masih hidup, nyekar berkunjung kepada keluarga yang telah meninggal dunia.
Dalam prosesi nyekar, masyarakat akan membersihkan makam orangtua dan keluarga, berdoa, dan menaburkan bunga.
“Nyekar itu kan sebagai bagian dari ziarah kubur."
"Selain itu nyekar bagian untuk mengingatkan yang mati kepada yang hidup."
"Mereka diingatkan, pada saatnya nanti mereka akan meninggal seperti saudara- saudaranya,” kata Wijanarto kepada Tribunbanyumas.com, Minggu (25/5/2020).
Wijanarto mengatakan, ada hal yang lebih penting dari nyekar selain datang untuk berdoa dan menaburkan bunga.
Hal itu adalah regenerasi, mengenalkan makam orangtua dan keluarga kepada yang lebih muda.
Menurut Wijanarto, biasanya yang lebih tua akan mengajak yang lebih muda.
Kemudian dikenalkanlah satu per satu makam- makam keluarga kepada anak- anak mereka.
“Yang muda akan diberi pesan, bahwa di sini ada beberapa saudara yang meninggal."
"Lalu mereka memberi testimoni, ‘jika saya sudah tidak ada tolong kamu yang menggantikan’."
"Pesan itu disampaikan dengan menunjuk makam- makam saudara yang sudah meninggal,” jelasnya.
• Kisah Dokter RS Wisma Atlet Jakarta: Tak Tahu Kapan Bisa Kumpul Keluarga, Ingin Sungkem Orangtua
• Tamu Gubernur Jawa Tengah Membludak, Ganjar Pranowo Gelar Open House Virtual Selama Dua Jam
• Kisah Pemudik Berlebaran di GOR Satria Purwokerto: Karantina Serasa di Penjara
Akulturasi Islam dan Hinduisme
Wijanarto menjelaskan, keberadaan tradisi nyekar merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi Hinduisme.
Ia mengatakan, dalam Hinduisme dikenal tradisi- tradisi mengenai siklus kematian yang banyak dirayakan.
Hal itu jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara, misalkan pada masa Zaman Megalitikum.
Wijanarto menjelaskan, saat itu bahkan sudah dikenal tradisi sesajen serta berkunjung dan merawat punden.
“Kalau di Jawa itu seperti siklus kematian tujuh hari, 40 hari, nyatus, sampai nyewu."
"Itu adalah hasil akulturasi dan kompromi penyebaran Islam pada masa awal di Nusantara,” ungkapnya.
Menurut Wijanarto, selain nyekar masyarakat Jawa juga mengenal tradisi nyadran.
Ia mengatakan, nyadran ini masih banyak dilakukan di desa- desa menjelang Ramadan, khususnya pada malam Jumat.
Wijanarto mengatakan, nyadran berasal dari bahasa sansekerta Sraddha yang artinya peraya.
Kata sraddha adalah istilah dari teologi Hindu yang kemudian diserap menjadi nyadran.
Sama halnya nyekar, dalam nyadran masyarakat Jawa akan berziarah dan bersih- bersih makam.
“Seperti bagaimana yang hidup, yang meninggal pun punya relasi yang kuat."
"Di Islam tidak ada istilah nyadran atau nyekar, begitu juga di Arab."
"Ini salah satu yang membuat Nusantara lebih kaya,” ungkapnya. (Fajar Bahruddin Achmad)
• Liga Italia Dipastikan Bergulir Juni, Pemerintah Sudah Siapkan Dua Tanggal
• Liverpool Vs Atletico Madrid Dianggap Kesalahan Besar, 41 Penonton Meninggal Karena Covid-19
• Presiden Lyon Sebut Ide Bodoh Saat Pembatalan Sisa Liga Prancis Musim Ini
• Unggahan Foto Ever Banega Bikin Geram Publik, Empat Pemain Sevilla Ini Berpesta Saat Lockdown
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banyumas/foto/bank/originals/tradisi-nyekar-warga-kota-tegal.jpg)