Berita Nasional
Komisi 9 DPR RI: Pemerintah Wajib Kembalikan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yang Telah Dibayarkan
Komisi 9 DPR RI: Pemerintah Wajib Kembalikan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yang Telah Dibayarkan
Komisi 9 DPR RI: Pemerintah Wajib Kembalikan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yang Telah Dibayarkan
TRIBUNBANYUMAS.COM - Anggota DPR RI Komisi 9, yang membidangi Kesehatan, Dewi Aryani, langsung bereaksi terkait putusan MA yang mengabulkan judicial review terhadap Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Dewi Aryani, anggota DPR yang terpilih dari Dapil 9 Jateng, itu meminta Pemerintah dalam hal ini Kemenkes, Kemenkeu, dan BPJS Kesehatan, untuk segera membahas teknis pengembalian iuran masyarakat yang sudah dibayarkan sejak Januari sampai Maret 2020.
"Hal tersebut memang tidak mudah, maka harus benar-benar membuat langkah yang paling tepat agar tidak membuat kegaduhan baru."
"Pemerintah jangan memulai gaduh dengan urusan kenaikan dan mengakhiri dengan gaduh pula. Selesaikan semua urusan rakyat sebaik-baiknya," kata Dewi Aryani, dalam rilisnya, Senin (9/3).
• Kecelakaan Speedboat Rombongan Paspampres di Palangkaraya, Enam Tewas Satu Penumpang Masih Hilang
• Pulang dari Warnet, Remaja 16 Tahun Bunuh lalu Perkosa Jasad Tetangganya yang Berusia 14 Tahun
• Pria ini Pelihara 32 Ekor Buaya di Belakang Rumah dengan Kandang Papan, Begini Langkah BKSDA
• Sudah Dibanjiri Wajib Pajak Program Bebas Denda dan BBNKB di Jateng akan Berakhir di Bulan Ini
DeAr, demikian ia dipanggil, mengatakan, masalah kesehatan saat ini adalah kebutuhan mendasar rakyat dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat hingga daerah, untuk memastikan semua mendapat pelayanan kesehatan yang sesuai menggunakan JKN/BPJS sesuai kategorinya.
Sementara itu, BPJS Kesehatan sendiri mengaku belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan judicial review terkait Perpres 75 tahun 2019.
"Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut, " kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf, lewat keterangannya tertulis, Senin (9/3).
Iqbal mengaku, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa berkomentar lebih lanjut soal putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS.
• Panik Sudah Tidak Kuat, Mobil Berhenti, Wanita Itu Melahirkan di Depan Koramil 08 Barumun
Dia menegaskan pihaknya akan melakukan koordinasi dengan beberapa kementerian terkait terlebih dahulu.
"Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah," tandas Iqbal.
Sebelumnya diberitakan, kenaikan iuran BPJS sebesar 100 persen akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Judicial review itu diketok oleh hakim agung Supandi, Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi.
Sebagai informasi, Kasus bermula saat Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan 100 persen yang dimulai sejak 1 Januari 2020.
• Kronologi lengkap Tabrakan Perahu Rombongan Paspampres, 6 Orang Tewas Termasuk Dandim Kuala Kapuas
Dikutip dari laman resmi KPCDI, mereka mendaftarkan hak uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, pada 5 Desember 2012.
Salah satu anggota KPCDI, Edy Mulyono adalah duda berusia 48 tahun dan sudah 6 tahun cuci darah.
"Pasien tidak lagi bekerja dan hidup dengan mengontrak di sebuah rumah petak di Jakarta. Ingin mendaftar menjadi peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI), namun tidak berdaya karena harus berjuang sendiri," kata pengacara KPCDI, Rusdianto, Senin (9/3).
Ada juga pasien bernama Rosidah (34). Pekerjaan suami Rosidah sebagai pedagang tukang kopi keliling atau bekerja sebagai kuli bangunan.
• Hari Ini, Jenazah Dandim Kuala Kapuas Dimakamkan di Klaten, Korban Kecelakaan Speedboat Paspampres
"Hanya Rosidah yang mendapat peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), sedangkan anak dan suaminya harus rela ke kelas BPJS Kesehatan Mandiri Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dengan membuat Kartu Keluarga (KK) secara terpisah.
Sudah berulang kali keluarga ini memohon ke dinas sosial setempat agar satu keluarga masuk dalam peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), namun sampai hari ini masih tidak berfungsi," tutur Rusdianto.
Adapun Yanuar (49), hanya pasien yang mendapatkan peserta JKN-Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sedangkan sang istri harus rela ikut di kelas BPJS Kesehatan kelas mandiri PBPU.
"Adanya fakta-fakta penonaktifan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) tanpa sosialisasi dan fakta masih sulitnya Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi fakir miskin dan orang tidak mampu menjadi bukti salah pengelolaan dalam mengelola BPJS," tandas Rusdianto.
• Hari Ini, Jenazah Dandim Kuala Kapuas Dimakamkan di Klaten, Korban Kecelakaan Speedboat Paspampres
• Berstatus Waspada Virus Corona, Liga Italia Resmi Dihentikan Sementara. Conte: Demi Kebaikan Semua
• MA Dikabarkan Terima Kasasi Eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan. Ini Respon Kuasa Hukum Terdakwa
• BREAKING NEWS: 13 Orang Lagi Dinyatakan Positif, Total Pasien Virus Corona di Indonesia 19 Orang
Mereka kemudian menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan. Gayung pun bersambut. MA mengabulkan permohonan itu.
"Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata juru bicara MA, yang juga Ketua Muda MA bidang Pengawasan Hakim Agung, Andi Samsan Nganro, Senin (9/3).
Menurutnya, keputusan sudah diketok MA pada Kamis, 27 Februari 2020, untuk Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil.
Duduk sebagai ketua majelis yaitu Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. (dta/dtc)