Berita Jateng
Ratusan Orang Tewas, Jejak Berdarah Lapas Bulu saat Perang Lima Hari di Semarang
Sebagian korban tewas ditembak dengan senjata api, sebagian lagi ditusuk atau digantung.
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: khoirul muzaki
TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG – Dari luar, Lapas Perempuan Kelas IIA Semarang di Jl Mgr Sugiyopranoto No.59, Pendrikan Kidul, Kec. Semarang Tengah, terlihat biasa.
Bangunan dengan dinding tebalnya berlumur cat putih itu tak banyak yang tahu, di balik tembok itu pernah terhampar sejarah kelam.
Dimana ratusan tentara dan orang sipil Jepang tewas di sana dalam peristiwa berdarah Perang Lima Hari di Semarang, Oktober 1945.
Pemerhati sejarah, Mozes Cristian, menyebut penjara Bulu kala itu bukan hanya tempat menahan orang-orang Jepang, Eropa dan Indo-Belanda, tetapi juga lokasi salah satu eksekusi massal terbesar selama perang singkat namun brutal itu.
“Kalau dari dokumen yang saya temukan, di tanggal 14 Oktober pemuda sudah bergerak. Mereka menguasai gedung-gedung dan menahan orang-orang Eropa, Indo-Belanda, serta staf RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees),” ujar Mozes saat ditemui di Rumah Po Han, yang juga sebagai Kurator di Pameran Arsip Ketika Api Menyala di Semarang.
Menurut Mozes, penahanan itu dilatarbelakangi kecurigaan pemuda bahwa mereka adalah antek Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda
Baca juga: Empat Jabatan Pimpinan Tinggi Wonosobo Tahun 2025 Diperebutkan, Termasuk Direktur RSUD
Mereka dijebloskan ke tiga penjara Bulu, Jurnatan, dan Mlaten. Namun situasi berubah cepat.
Dalam kesaksian Perwira RAPWI asal Belanda bernama Helfrid, pada malam 15 Oktober terdengar suara tembakan dan teriakan dari arah dalam penjara Bulu.
Keesokan harinya, 16 Oktober, suasana berubah menjadi pembantaian.
“Penjara itu baru dikuasai lagi oleh tentara Jepang sekitar pukul empat sore. Saat mereka datang, mayat-mayat orang Jepang masih tergeletak,” ujarnya.
Ia menyebut eksekusi dilakukan secara brutal. Sebagian korban tewas ditembak dengan senjata api, sebagian lagi ditusuk atau digantung.
“Dari arsip Jepang yang saya baca, jumlah korban di penjara Bulu sekitar 150 orang, arsip Jepang ditulis segera setelah peristiwa tersebut namun dari sumber laporan Wongsonegoro (mantan Gubernur Jawa Tengah yang kala itu menjabat) korban disebut lebih banyak,” katanya.
Mozes menilai aksi pembantaian itu bukan serangan terencana, melainkan luapan amarah setelah pasukan Jepang menyerang lebih dulu di kawasan Tugu Muda pada 15 Oktober dini hari.
“Kalau analisisku, itu semacam balas dendam karena mereka diserang. Pertempuran di Tugu Muda masih berlangsung, situasi kacau. Pemuda melihat Jepang sebagai musuh yang harus dibalas,” ujarnya. (Rad)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.