Berita Semarang

PGRI Semarang Tolak Wacana Guru Jadi Tester Makanan MBG: Siapa yang Jamin Nyawa Guru?

Ketua PGRI Kota Semarang menolak wacana guru jadi tester makanan MBG sebelum diberikan ke murid. Tak mau nyawa guru jadi taruhan.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rika irawati
TRIBUNBANYUMAS/IQBAL SHUKRI
SIAPKAN MGB - Ilustrasi. Petugas SPPG di Blora menyiapkan makanan program MBG yang akan didistribusikan ke sekolah. PGRI Kota Semarang kritik wacana guru jadi tester makanan MBG sebelum dibagikan ke murid. Pertanyakan penjamin nyawa guru saat makanan ternyata tak layak konsumsi. 

TRIBUNBANYUMAS.COM, SEMARANG – Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Semarang Prof Nur Khoiri menolak wacana guru menjadi tester makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebelum disajikan ke murid.

Dia menilai, usulan itu justru berisiko pada keselamatan tenaga pendidik apalagi di tengah maraknya kejadian keracunan makanan MBG.

Nur Khoiri mengatakan, wacana guru menjadi tester memunculkan pertanyaan siapa yang bakal menjamin nyawa guru tersebut.

"Namanya manusia, nyawa kan tidak bisa coba-coba."

"Kalau ternyata makanannya tidak sehat, itu bisa membahayakan bapak-ibu guru," ujar Prof Nur Khoiri saat dihubungi, Kamis (2/10/2025).

Baca juga: Guru di Blora akan Cek Makanan MBG sebelum Diberikan ke Murid, Diberi Insentif Rp100 Ribu Per Hari

Ia menyayangkan pelimpahan tanggung jawab pengawasan makanan MBG kepada guru.

Menurutnya, profesi guru sudah cukup terbebani dengan tugas mendidik, mengajar, hingga membimbing siswa. 

Ditambah peran sebagai 'tester makanan' hanya akan membuka risiko baru yang semestinya tidak perlu.

"Guru itu kasihan. Mereka harus turut serta menyukseskan program tapi kalau ada permasalahan, misalnya kasus keracunan, masyarakat tahunya ke sekolah. Guru yang akan ditarik-tarik tanggung jawabnya," kata Khoiri.

Perpendek SOP

Ketimbang guru mencicipi langsung makanan MBG, Khoiri mengusulkan penyederhanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk memastikan kualitas hidangan sebelum didistribusikan.

"Makanan bisa diperiksa tanpa harus dimakan. Bisa dilihat, dicermati, bahkan diraba."

"Kalau ada lendir, bau, atau tekstur yang aneh, itu sudah jadi tanda," jelasnya.

Baginya, langkah-langkah sederhana semacam itu jauh lebih masuk akal ketimbang menjadikan guru sebagai 'kelinci percobaan'.

Apalagi, dalam kasus keracunan yang pernah terjadi di beberapa daerah, faktor utamanya bukan soal rasa melainkan proses pengolahan dan distribusi yang terburu-buru.

"Jangan sampai, karena dikejar waktu, masakan yang harusnya 30 menit matang, baru 20 menit sudah dibagikan. Itu kan berbahaya," kata Khoiri.

Sodorkan Komite Sekolah

Khoiri menyarankan, pengawasan MBG melibatkan unsur komite sekolah.

Dengan begitu, kontrol tidak berhenti di dapur penyedia (SPPG) tetapi juga terus berlapis hingga ke sekolah.

"Pelibatan komite penting agar ada kontrol dari masyarakat. Jangan semua dibebankan ke guru. Guru biar fokus mengajar," ucapnya.

Baca juga: Cerita Korban Keracunan MBG di Ungaran Semarang: Sempat Tolong Teman sebelum Muntah Hingga Dehidrasi

Ia mencontohkan, beberapa sekolah swasta di Semarang bahkan menolak program MBG karena orangtua siswa lebih percaya pada makanan yang disiapkan kantin sekolah. 

"Yang saya tahu, ada tiga sekolah swasta menolak."

"Mereka memilih jalur sendiri karena lebih yakin dengan kebersihannya," ungkapnya.

Bagi Khoiri, bicara soal makanan di sekolah, tidak bisa hanya dilihat dari angka statistik. 

Meski jumlah kasus keracunan MBG masih terbilang kecil dibandingkan total porsi yang didistribusikan, kesehatan anak-anak tetap tidak boleh dipertaruhkan.

"Kalau bicara statistik, misalnya dari satu juta porsi hanya 50 yang bermasalah. Angkanya kecil. Tapi ini nyawa. Tidak bisa disepelekan," katanya.

Pernyataan itu juga berlaku bagi guru. 

Mencicipi makanan bukan berarti aman, justru bisa menjadi pintu masuk risiko. 

Khoiri menegaskan, MBG tetap program penting yang harus didukung. 

Namun, dukungan itu tak bisa polos-polosan tanpa pengawasan serius. 

Dari bahan baku, cara masak, hingga waktu distribusi semuanya membutuhkan kedisiplinan pelaksana di lapangan.

"SOP itu sebenarnya sudah ada. Masalahnya di lapangan, kedisiplinan pelaksanaan itu yang sering lemah."

"Di sinilah peran pengawasan eksternal harus diperkuat," ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Banyumas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved